JAKARTA – Suka atau tidak suka, Indonesia akan menyongsong era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 (MEA 2015) atas desakan perkembangan ekonomi dan geopolitik di kawasan Asia Tenggara. kekhawatiran bangsa Indonesia terkait MEA sebenarnya juga menjadi kekhawatiran negara tetangga. Lalu apa yang bisa pemerintah dan masyarakat lakukan?
MEA merupakan sebuah agenda integrasi ekonomi negara-negara ASEAN yang bertujuan untuk menghilangkan, jika tidak, meminimalisasi hambatan-hambatan di dalam melakukan kegiatan ekonomi lintas kawasan, misalnya dalam perdagangan barang, jasa, dan investasi. Cakupan agenda integrasi ekonomi melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 sangat luas dan mencakup hampir seluruh sendi-sendi strategis perekonomian.
LDII menilai bahwa terlepas dari hal-hal negatif yang dipikirkan masyarakat mengenai MEA, manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, tentu harus bekerja sama dalam menjalani kehidupan. Untuk itu dalam menghadapi MEA ormas LDII memberikan resolusi bagaimana supaya negara ASEAN bisa bekerja sama demi kehidupan bersama, yaitu dengan cara bermitra.
Beberapa waktu lalu, LDII telah menggelar Focus Group Discussion (FGD) mengenai kemitraan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dalam MEA 2015. Dalam FGD tersebut terbentuklah panitia Kemitraan UMKM dengan berbagai latar belakang terkait, yang akan mempertemukan perwakilan UMKM dan perwakilan duta bangsa dari tiap negara Asean, untuk mewujudkan kemitraan. UMKM merupakan penopang besar kehidupan masyarakat khusunya di Indonesia, karena UMKM menampung 60 persen dari total jumlah tenaga kerja.
Langkah selanjutnya DPP LDII bersama Panita Kemitraan UMKM berkoordinasi dengan Sekretaris Nasional (Setnas) Asean, pada Jumat, 29 Mei 2015. Bertempat Pusdiklat Kantor Seknas ASEAN, rapat koordinasi Setnas ASEAN Indonesia dengan Panitia  Kemitraan UMKM berjalan dengan hangat dan mendapat tanggapan yang positif dari Setnas Asean. Rapat tersebut fokus kepada tema koperasi-UKM menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Tantangan yang dihadapi Indonesia
Pola pikir masyarakat dalam mencermati MEA memang beragam. Namun umumnya sebagian masyarakat menganggap bahwa MEA adalah ancaman. Jika tidak mampu bertahan maka akan tergerus oleh yang kuat. Banyak problem dari UMKM terkait produk karena kebijakan ekonomi luar negeri. Singkatnya begitu usaha mikro berkembang menjadi kecil, kemudian berkembang menjadi menengah, maka brand dan hak kekayaan intelektual UMKM tersebut akan di caplok oleh perusahaan multinasional raksasa.
“Memang menarik ketika produk yang terlihat bagus, dengan mudah perusahaan multinasional mengakuisisi dengan uang yang fantastis. Perusahaan raksasa tersebut melihat UMKM di Indonesia punya pasar, produk, program yang bagus, tetapi ketika sudah mencapai taraf menengah, dicaplok oleh investor luar negeri,” ujar Yuszak M. Yahya dari Panitia Kemitraan UMKM.
Masalah UMKM memang relatif masih sama yaitu soal akses informasi, akses modal, akses teknologi, dan akses ke pasar. Demikian yang disampaikan tim panitia yang telah melakukan lawatan ke beberapa negara ASEAN untuk menyampaikan maksud bahwa negara ASEAN juga memiliki masalah yang sama dengan yang dihadapi Indonesia. Menurut Ketua DPP LDII Prasetyo Sunaryo, sebenarnya hal ini bisa diatasi jika negara ASEAN melakukan kemitraan.
“Daripada bersaing, mengapa tidak melakukan kemitraan. Setiap negara memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing seperti sumber daya alam. Negara yang memiliki kekurangan sebenarnya bisa saling melengkapi. Untuk melakukan upaya proteksi dengan menerapkan┬árule of origin. Mereka membutuhkannetworking┬áseperti material yang dibutuhkan yang ada di Indonesia,” ujar Prasetyo Sunaryo
Untuk menyongsong MEA, Ngurah Swajaya sebagai ketua Setnas Asean menyarankan memakai kata menyongsong ketimbang menghadapi. Pola pikir masyarakat hendaknya berubah bahwa MEA seharusnya dapat dijadikan peluang daripada terlarut dalam kekhawatiran akan ancamannya. Apa yang dicita-citakan dari terlaksananya MEA 2015 sebenarnya dapat menggerus kekhawatiran kita sebagaimana tercantum dalam Tiga Pilar MEA.
Pilar pertama adalah politik dan keamanan (POLKAM). Pilar POLKAM ini adalah bagaimana menciptakan stabilitas ASEAN, kawasan ini dalam 50 tahun terakhir relatif stabil dan kondusif tanpa konflik seperti di kawasan Timur Tengah, Afrika, Amerika Selatan, dan di Asia Tengah-Selatan.
“Kalau pun ada konflik seperti konflik soal territorial atau perbatasan di ASEAN maka disepakati penyelesaiannya┬á diselesaikan secara damai. Ini adalah dimensi inti dari masyarakat ASEAN. Konflik tidak diselesaikan dengan cara-cara penggunaan senjata,” ujar Ngurah Swajaya.
Pilar kedua adalah mengenai Pasar Tunggal dan Basis Produksi. Ada tarif ekspor-impor nol persen bila produk itu 100 persen dari negara anggota ASEAN bukan diimpor dari luar, kemudian dikemas ulang sebagai produk sendiri. Tapi ada tiga produk yang masih dilindungi dan tidak bisa bebas tarif di antaranya beras, gula, dan minuman alkohol.
“Dengan kawasan ASEAN menjadi basis produksi maka akan mengundang investor dari luar karena ada insentif tarif nol persen kalau mendirikan pabrik dan produknya semua berasal dari negara anggota ASEAN. ┬áPasar tunggal ASEAN ini volumenya mencapai hampir 3 kali lipat pasar Indonesia. Untuk itu, Indonesia perlu menjadi tuan rumah di ASEAN itu sendiri. Selain itu, mendorong terwujudnya┬áequitable development┬ádengan kata lain pemerataan ekonomi. Ini menjadi tantangan tersendiri,” Ngurah Swajaya memberi penjelasan.
Pilar ketiga adalah bagaimana ASEAN ini bisa terintegrasi dengan perekonomian dunia. Ada kemitraan komprehensif yang melibatkan 6 negara di luar ASEAN yaitu China, Jepang, India, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Sehingga dari segi jumlah penduduk merupakan terbesar di dunia dengan perkataan lain pasar yang luas.
Proteksi Terhadap Ketenagakerjaan
Memang ada kekhawatiran soal tenaga kerja, yakni kurang adanya perlindungan terhadap tenaga kerja dan kebebaan tenaga kerja. Menurut Ngurah Swajaya yang dimaksud kebebasan tenaga kerja adalah tenaga kerja terampil yang difasilitasi berdasarkan standarisasi, bukan tenaga keja yang bebas bekerja disemua negara ASEAN. Tetapi sampai sekarang yang sudah disepakati untuk difasilitasi delapan sektor untuk tenaga kerja terampil.
“Ada delapan bidang tenaga kerja yang bisa difasilitasi bekerja di semua negara anggota ASEAN adalah insinyur, dokter, dokter gigi, akuntan, surveyor, arsitek, tenaga pariwisata, dan perawat. Di luar yang delapan bidang ini, belum ada kemudahan yang diberikan. Untuk kedelapan bidang tenaga kerja ini ada yang dinamakan┬áMutual Recognition Arrangement┬áatau MRA di mana tenaga kerja yang mau bekerja di negara anggota ASEAN itu misalnya sudah memiliki sertifikasi yang diakui ASEAN. Proses untuk mendapatkan sertifikasi ini masih dalam proses,” jelas ngurah Swajaya.
Sedangkan untuk perlindungan tenaga kerja seperti TKW atau TKI yang menjadi buruh atau pembantu rumah tangga dimintakan untuk mendapat perlindungan seperti hak mendapat akses pendidikan dan kesehatan. (Khoir/LINES)