SIAPAPUN meyakini demokrasi bukan segala-segalanya untuk mewujudkan kesejahteraan. Para teknokrat meyakini hanya teknologi yang membuat manusia menjadi sejahtera. Persoalannya adalah demokrasi adalah sistem yang membuat jalannya bifrokrasi bahkan teknologi sekalipun menjadi transparan, akuntabel, dan dikritik.
Tapi melaksanakan demokrasi yang ideal juga tak semudah membalik telapak tangan. Saya mencatat kata-kata juru bicara Fraksi TNI/Polri, Christina M Rantatena pada Sabtu, 10 Agustus 2002, menjelang pengesahan Perubahan Keempat UUD 45, yang a lot itu. Ini catatan saya terakhir sebelum fraksi TNI/Polri dilikuidasi dari DPR-MPR. Begini katanya, Kita tak ingin menjadikan Indonesia laboratorium demokrasi. Karena begitu penting dan strategisnya perubahan UUD 1945, maka semua pihak harus mau dan mampu mengesampingkan semua keinginan untuk memperjuangkan kepentingan sesaat, kepentingan sendiri atau kepentingan kelompok.
Demokrasi di Indonesia nyaris mirip kacang goreng yang dikudap dalam perbincangan politisi, mahasiswa, hingga para kyai. Bangsa ini telah bereksperimen dengan demokrasi dalam laboratorium negara. Diawali dengan demokrasi parlementer atau demokrasi liberal (1950-1959), demokrasi terpimpin (1959-1966) di bawah Soekarno, menuju demokrasi Pancasila (1967-1998) di bawah kontrol Soeharto. Ketiga model demokrasi itu tidak berakhir dengan baik. Pasca-Orde Baru, demokrasi sedang mencari bentuknya, entah menuju demokrasi liberal atau model lain.
Pemilihan presiden langsung adalah revolusi. Bukan hanya presiden yang dipilih langsung, gubernur, wali kota, dan bupati pun dipilih langsung. Ini pertama kalinya dalam sejarah Republik Indonesia rakyat memilih sendiri pemimpinnya.
Saya jadi ingat kalimat diplomat kawakan AS, yang bilang begini: ÔÇ£Anggaplah pemilu berjalan bebas dan adil. Dan mereka yang terpilih adalah orang rasis, fasis, separatis yang secara terbuka menentang perdamaian.ÔÇØ Itu bisa terjadi dalam demokrasi. Demokrasi bisa berkembang, tetapi kebebasan konstitusional tidak.
Jack Snyder dalam From Voting to Violence (2000) menyampaikan pesan, ÔÇ£Membangun demokrasi bukan hanya menyingkirkan penguasaotoriter, dan selanjutnya demokrasi akan langgengÔÇØ. Snyder berpesan hati-hati menyelenggarakan demokrasi karena berpotensi memunculkan guncangan.
Jadi bila sepanjang Mei 2005-Juli 2010 paling tidak terjadi 49 kali konflik horisontal akibat pemilihan kepala daerah. Itulah akibat demokrasi kita saat ini. Bahkan mantan Ketua MK Mahfud MD mengatakan pilkada langsung perlu ditinjau ulang. Alasannya, pilkada langsung merusak moral masyarakat. Kerusakan itu masif karena melibatkan seluruh rakyat (Tempo, 3 Agustus 2010).
Apa yang sebenarnya terjadi dalam eksperimen demokrasi Indonesia? Prof Azyumardi Azra, Guru Besar Universitas Islam Negeri Jakarta, menyebut euforia demokrasi tidak berjalan sejajar dengan peningkatan pemahaman soal demokrasi itu sendiri. Kebebasan kerap disalahartikan sebagai ÔÇ£kebebasan tanpa aturanÔÇØ (lawlessness freedom) dan tanpa kepatuhan pada hukum.
Gejala kekerasan yang terjadi menunjukkan masih jauhnya pemahaman demokrasi sebagai art of compromise. Mengalami demokrasi masih menjadi sesuatu yang baru. Demokrasi tidak cukup bisa dikembangkan sendiri. Ia harus disemaikan, dipupuk secara terencana. Ia membutuhkan pendidikan kewargaan yang akan mencakup democracy education, civic education, dan citizenship education.
Di mana musyawarah? Pancasila sebagai dasar negara menyinggung pula soal demokrasi dalam sila keempat yang berbunyi: ÔÇ£Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilanÔÇØ.
Dalam pidato 1 Juni 1945 di depan anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, Soekarno berpidato, ÔÇ£ÔǪDasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara, ÔÇÿsemua buat semuaÔÇÖ, satu buat semua, semua buat satu. Saja yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilanÔÇØ (Tjamkan Pantja Sila!-Pantja Sila Dasar Falsafah Negara, editor: Amin Arjoso, 2002, halaman 25). ÔÇ£Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan,ÔÇØ tulis Soekarno.
Sedangkan bagi Mohammad Hatta, ada lima unsur demokrasi khas Indonesia, yakni rapat, mufakat, gotong royong, hak mengajukan protes bersama, dan hak menyingkir dari wilayah kekuasaan raja yang tidak adil. Musyawarah mufakat menjadi kata kunci. Tetapi praksis politik menunjukkan pudarnya permusyawaratan untuk mufakat. Tren baru mengarah pada demokrasi transaksional. Kandidat gubernur harus membayar konsultan politik untuk memoles citra dan itu berarti uang. Kandidat pun harus memberikan uang kepada pemilih.
Kapital menjadi salah satu faktor penting. Era pragmatisme politik tiba. Tak heran jika calon gubernur harus menyiapkan dana puluhan miliar rupiah untuk maju dalam pilkada. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tak memiliki kapital? Akankah politik dikuasai kelompok berkapital besar?
Apa yang terjadi sekarang ini mengingatkan kita pada tulisan Soekarno 69 tahun lalu dalam Pemandangan, 1941. Soekarno menulis, karena biasanya kaum borjuislah yang mendapat banyak kursi. Mereka kaum borjuis, punya radio-radio, mereka punya bioskop-bioskop, mereka punya sekolah-sekolah, mereka punya gereja-gereja, mereka punya partai-partai, semuanya itu biasanya dapatlah menjamin suara terbanyak bagi borjuis. Semuanya itu menjamin, bahwa biasanya utusan-utusan rakyat jelata kalah suara. (Di Bawah Bendera Revolusi, 1965, halaman 586).
Akankah kita menikmati terjebak dalam demokrasi liberal dalam laboratorium demokrasi, yang jauh dari mufakat itu?.
Oleh: Ludhy Cahyana
Departemen Komunikasi, Informasi, dan Media Massa DPP LDII