NASIONAL – Perekonomian global terus mendorong negara tidak hanya berorientasi memenuhi permintaan konsumen dalam negeri namun juga luar negeri. Keterbukaan ini mulai mendekati titik kemunculan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) 2015.
MEA atau disebut juga AEC (ASEAN Economic Community) 2015 dibentuk sebagai pusat perdagangan kawasan yang terintegrasi. Pembentukannya dimulai dari 2008 dan implementasi baru dilakukan pada 2015. MEA yang merupakan pasar basis produksi, diartikan sebagai liberalisasi aliran barang, investasi, modal, dan tenaga kerja terampil. Di mana berbagai hambatan perdagangan baik bea masuk maupun non bea masuk tidak dihapus dan diturunkan.
Gagasan mewujudkan MEA 2015 sebenarnya dapat dijadikan sarana membina kerukunan antar negara ASEAN dan pusat perdagangan. Namun, apakah negara Indonesia siap dengan datangnya MEA 2015? Mengingat kondisi ekonomi Indonesia masih kalah bersaing dengan negara tetangga secara kualitas. Bahkan, efisiensi pasar tenaga kerja Indonesia masih masuk urutan 103 berdasarkan Indeks Global Kompetitif.
Fakta lain menunjukkan bahwa kualitas SDM di Indonesia masih menempati urutan 121 dari 187 negara yang dikomparasikan oleh lembaga dibawah PBB, UNDP (United Nations Development Programme). Indonesia memiliki PDB (Produk Domestik Bruto) terbesar, namun PDB per kapita kalah dengan Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand. Indonesia juga mengalami defisit neraca perdagangan, sedangkan Singapura surplus paling besar.
Perekonomian Indonesia saat ini didominasi oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Namun masih kurang berdaya saing dengan negara tetangga. Untuk memperoleh sumber daya diperlukan strategi khusus bagi para UKM. Serta harus meningkatkan standar desain dan kualitas produk agar sesuai dengan ketentuan ASEAN. Selain itu, UKM perlu membuat diversifikasi output dan menjaga stabilitas pendapatan usaha makro agar tidak jatuh ke kelompok orang miskin.
Inilah peran penting UMKM sebagai salah satu bagian dari 4 pilar cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN. Sanusi Fattah, salah satu pembicara dalam FGD yang bertema “Ekonomi Syari’ah” memaparkan bahwa pemberdayaan UMKM dapat dilakukan melalui penumbuhan iklim usaha, pengembangan usaha, pembiayaan dan penjaminan UMKM, serta pengembangan kemitraan. Pada negara-negara maju, sektor ini sudah sangat maju. Bagaimana dengan Indonesia? Terutama penerapan ekonomi berbasis syari’ah yang digadang-gadang dapat memajukan perekonomian Indonesia.
“Pada dasarnya, nilai-nilai yang mereka (negara lain) kerjakan, justru sudah ada dalam ajaran Islam. Yaitu, jujur, amanah, mujhid-muzhid. Bila UMKM menerapkan dalam transaksi syari’ah tersebut, sudah pasti berkembang pesat sehingga nasabah pun melakukan pembiayaan secara syari’ah bukan konvensional. Untuk itu, agar pemahaman masyarakat akan ekonomi syari’ah meningkat, pemerintah hendaknya mengeluarkan produk hukum yang berfilosofis Islam” ujar anggota Dewan Pakar DPP LDII Ardito Bhinadi yang merupakan salah satu pembicara FGD.
Solusinya, Ardito menjelaskan, UMKM saat ini harus belajar dari kejadian ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) dimana setelah satu tahun berjalan, masih banyak UMKM yang belum mengetahui ACFTA dan hanya sebagian kecil UMKM yang optimis bisa berdaya saing. Selain itu, perlu menyusun solusi dari aspek filosofis, strategis dan implementasi. Dan terpenting, pembangunan karakter modal bagi kemajuan bangsa. (Noni/LINES)