FORUM – Mengapa Allah SWT dan Rasulullah SAW melarang manusia membuang-buang makanan alias memubazirkan makanan? Bahkan Alquran surat Al Isra menyebut prilaku mubazir adalah prilaku kawannya setan. Mari diurai betapa berbahayanya membuang-buang makanan.
Badan PBB untuk urusan pangan United Nation Food and Agriculture Organization (FAO) menyatakan bahwa 1,3 miliar ton makanan dibuang sia-sia. Sekitar 222 juta ton dari kesemua makanan itu dibuang oleh negara-negara kaya. Di sisi lain, sekitar 1 dari 7 orang di dunia kelaparan. Lebih dari 20.000 anak usia di bawah lima tahun meninggal kelaparan. Jika tidak ada tindak lanjut, maka bumi harus bekerja ekstra keras untuk memberi makan untuk sekitar 7 miliar penghuninya yang mungkin di tahun 2050 akan menjadi 9 miliar.
Kementerian Lingkungan Hidup menyodorkan data sekitar 100 ribu ton lebih perhari produksi sampah organik Indonesia, hanya 2,2 % saja yang diolah menjadi kompos. Sisanya menjadi sampah yang terbuang begitu saja. Terbayang betapa banyaknya makanan yang selama ini terbuang sia-sia. Dan bayangkan jika itu bisa dialihkan untuk yang lebih membutuhkan, sehingga tidak ada lagi yang kelaparan, bahkan mati kelaparan. Tapi efek dari buang-buang makanan ini tidak hanya pada manusia yang kelaparan, tapi juga pada bumi.
Makanan yang terbuang akan menjadi limbah bagi bumi. Sisa makanan ini akan membusuk kemudian menghasilkan gas metan. Dan gas metan bisa mengukus bumi 23 kali lipat lebih ganas dari pada CO2. Padahal, manusia sudah terlalu banyak membakar sehingga menumpuk CO2, sekarang di tambah lagi metan. Bisa-bisa, manusialah yang akan dibakar balik oleh bumi.
Tidak hanya itu, untuk memproduksi panganan apapun, hewani maupun nabati, pasti membutuhkan air bersih. Itu artinya membuang makanan juga berarti membuang air. Misalnya saja, untuk memproduksi 1 liter susu saja membutuhkan 1.000 liter air bersih, 1 kg beras membutuhkan 1.912 liter air, 1 kg gandum membutuhkan sekitar 900 liter air, dan lain-lain. Padahal sekitar 1,2 miliar orang tidak mendapat akses ke air bersih. Belum lagi ditambah hutan yang berkurang karena terus ditebang mengurangi stok air bersih di dalam tanah.
Di tambah lagi dengan impor bahan pangan yang masih saja kita lakukan, entah karena kita yang belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, atau minimnya kesadaran masyarakat umum lebih mengutamakan mengkonsumsi produk lokal, atau bahkan konspirasi lainnya. Tidak sedikit bahan makanan yang kita impor, yaitu sekitar 49,3% dari kebutuhan nasional. Beras, daging, kedelai, sayur, buah, hingga pakan ternak, semua kita impor. Amerika, Cina, Thailand, India, dan negara lainnya sebagai sumber bahan pangan kita. Impor ini akan memberikan dampak pada meningkatnya emisi dari transportasi makanan dan bahan makanan. Bayangkan makanan yang dipindahkan dari negara satu ke negara lainnya, berkilo-kilo meter ditempuh, dan asap mengebul keluar dari kapal-kapal yang membawanya. Itu juga setelah sampai di tempat tujuan, lalu dimasak dan matang di atas meja kita, banyak yang terbuang sia-sia. Betapa perjalanan yang sia-sia pula.
Lalu, manusia harus bagaimana? Menghabiskan makanan yang sudah tersaji? Para pakar diet menyatakan bahwa kebiasaan menghabiskan makanan di piring sementara perut sudah penuh akan menunjang kegemukan di usia dewasa. Juga tidak baik untuk pencernaan karena menyusahkan sistem pencernaan untuk mengolah semua pangan yang tak perlu tapi dipaksa masuk. Di sisi lain, membiarkan nasi bersisa juga merupakan pemborosan sumber daya alam bumi. Selain makanan itu akan menjadi limbah yang akan menghasilkan metan, atas nama kemanusiaan, saya juga tidak tega membuang makanan sementara di tempat lain banyak orang kelaparan.
Lalu? Apa yang harus kita lakukan?
Di Hong Kong dengan mudah menemukan orang yang mengorek-ngorek tempat sampah, sementara yang lainnya sedang berjalan-jalan dengan mobil mewah, mendirikan dapur umum bernama Food Angel. Adalah Regina Leung, seorang istri kepala pemerintahan Hong Kong, yang memiliki ide mendirikan dapur umum ini. Dapur umum ini dibuka di beberapa titik di Hong Kong. Dapur ini menampung makanan-makanan sisa dari bandara, restoran, supermarket hingga pasar. Kemudian, oleh para koki sukarelawan mengolah bahan makanan itu sedemikian rupa, lalu dibagikan gratis, utamanya untuk para lansia yang tidak mampu.
Di Amerika sekitar 30% pangannya masuk tempat sampah, yang juga berarti pembuangan uang US$ 48,3 miliar per tahun, yang mana separuh dari uang tersebut adalah harga yang harus digunakan untuk membeli air bersih. Pemerintah AS bahkan menghabiskan uang sebanyak makanan yang dibuang rakyatnya, hanya untuk melakukan kampanye tak membuang makanan.
Mulai dari mengajari masyarakat memanfaatkan sisa-sisa panganan untuk membuat masakan pendamping, hingga mencegah agar makanan tidak sering gosong. Solusi lainnya adalah dengan menyumbang kelebihan makanan pada orang yang tak mampu, hingga memberikan sisa makanan pada binatang ternak seperti kuda, sapi dan babi.
Di Indonesia, Surabaya tepatnya, sisa makanan ini dijadikan bahan baku biogas untuk dijadikan energi. Makanan sisa dimasukkan kedalam tabung digester, lalu membusuk dan menghasilkan metan. Gas metan tersebut diambil kemudian digunakan untuk memasak. Lalu ampas dari sisa makanan tadi dijadikan kompos. Walaupun program ini masih hasil kerjasama dengan Singapura, namun patut diacungi jempol.
Harus seribet itukah solusinya? Tidak juga. Ada yang sederhana, yaitu ambillah makanan secukupnya, lalu makan sampai habis. Kalau masih lapar, boleh nambah. Tapi ingat, nabi menyunahkan untuk membagi perut menjadi 3 bagian, yaitu 1/3 untuk makanan, 1/3 untuk minuman dan 1/3 lagi untuk udara. Jadi perut tidak benar-benar penuh dengan makanan atau minuman, atau dengan kata lain, berhenti makanlah sebelum kenyang. Karena kalau kekenyangan juga tidak baik bagi pencernaan, juga dapat mengakibatkan kegemukan. Kalo kelaperan juga bisa bikin sakit. Jadi secukupnya. Kalau mengambil berlebihan terus bersisa, tahu sendiri akibatnya, seperti yang sudah saya tulis di atas. Maka kemudian wajarlah Allah SWT dan Rasulullah menyatakan mereka yang melakukan mubadzir itu adalah temannya setan. (Defrian/foto: mirror.co.uk, butobu.rs/LINES)