SAMPIT – Dewan Pimpinan Daerah LDII Kabupaten Kotawaringin Timur menjalin kerja sama dengan Kejaksaan Negeri Kotim menyelenggarakan penerangan dan penyuluhan hukum. Penyuluhan diikuti 300-an warga LDII, bertempat di Masjid Barokah Sampit, Kalimantan Tengah, Minggu (13/11).
Berdasarkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 3 ayat 1 menyebutkan Negara Indonesia adalah Negara Hukum dan kehidupan bernegara harus berdasarkan hukum.
“Segala tatanan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat didasarkan atas hukum yang berlaku,” tutur Ketua DPD LDII Kotim Dasuki SPd.
Melalui kegiatan pembekalan ini, Dasuki berharap warga LDII dapat menerima manfaat dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Penyuluhan bertema Ketaatan Hukum dan Tabiat Luhur untuk Mewujudkan Indonesia Maju di Bumi Habaring Hutung ini memiliki sub tema Pengenalan Restorative Justice, Stop Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Jauhi Narkoba. Dua narasumber dari Kejaksaan Negeri Kotim Arie Kusumawati SH dan Roshian Arganata SH.
Arie mengapresiasi inisiatif LDII menyelenggarakan acara penyuluhan tersebut dan sekaligus memuji jargon “Jaksa Sahabat LDII”. “Pengalaman pertama bagi kami, biasanya ke sekolah dengan program jaksa masuk sekolah. Sekarang programnya jaksa masuk masjid,” kata Arie.
Dalam paparannya, Arie menjelaskan sekilas tentang apa itu kejaksaan. Hierarki kejaksaan ia sebut terdiri dari Cabjari (Cabang Kejaksaan Negeri), Kejaksaan Negeri bertempat di Kabupaten, Kejaksaan Tinggi di Provinsi serta Kejaksaan Agung di tingkat pusat.
Berkaitan dengan ketaatan hukum, ia mengatakan hendaknya dipupuk sejak dari kecil. “Taat itu awalnya dari orangnya sendiri. Dipupuk sejak dari sekolah atau dari keluarga,” ucapnya.
Lebih lanjut Arie menjelaskan tentang Restorative Justice (Keadilan Restorative). Keadilan Restorative adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, Korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
“Kondisi Lapas di Kotim saat ini sudah penuh. Over kapasitas. Untuk itulah ada Restorative Justice ” ucapnya.
Reformasi kebijakan hukum pidana menuntun perubahan tujuan pemidanaan. Tidak lagi membalas, tetapi menghilangkan stigma atau pelabelan sebagai pelaku kejahatan dan membebaskan rasa bersalah pelaku.
“Syarat prinsip RJ adalah pertama tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, kedua tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun dan ketiga tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah),” jelas Arie, yang berasal dari Yogyakarta tersebut.
Pada paparan bahaya Narkoba, dijelaskan proses terbentuknya ketergantungan narkoba. Pertama kompromi (mau bergaul dengan pemakai Narkoba), lalu diawali dengan coba-coba (segan menolak teman). Kemudian Toleransi Pemakaian sosial (hanya saat bergaul), Pemakaian situasional (saat kesal, sedih, kecewa, ada masalah).
Berikutnya Kebiasaan pemakaian jadi semakin sering (akan meningkat menjadi sering pakai tidak perlu dipengaruhi atau sedang bermasalah) dan puncaknya tahap ketergantungan , bila tidak pakai sakau kerusakan pada organ tubuh dan meninggal.
Sementara Roshian Arganata SH memaparkan permasalahan seputar KDRT yang dilakukan oleh anggota keluarga. “Entah dilakukan oleh suami, istri atau anak dengan berbagai macam bentuknya,” ujarnya.
KDRT dalam bentuknya terdiri dari fisik, psikis, seksual dan ekonomi. “Kekerasan ekonomi dapat berupa penelantaran. Si suami tidak menafkahi kepada anak istrinya,” kata Roshian.
Akibat dari KDRT dapat cedera atau luka, trauma psikologis, depresi yang dapat berujung bunuh dari. Solusinya, dalam keluarga agar mengutamakan komunikasi, termasuk dalam hal agama. (PS).