JAKARTA – Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia. Jenis usaha ini terbukti imun, ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia pada 1997 hingga 1998. Dalam menghadapi pasar bebas ASEAN, UMKM kembali diuji. Untuk itu perlu kemitraan, baik dengan pemerintah, BUMN, maupun perbankan nasioal.
Demikian Ketua DPP LDII Prasetyo Sunaryo menyampaikan gagasan awal mengenai UMKM dihadapan Wakil Menteri Luar Negeri, A.M. Fachir pada audiensi di Kementerian Luar Negeri, Rabu (1/4) lalu. Mewakili LDII, Prasetyo juga menyampaikan rencana lokakarya UMKM ASEAN yang nantinya mendatangkan pembicara ahli di bidang ekonomi ASEAN dan kiat menangani UMKM.
Untuk mendukung terwujudnya acara tersebut, LDII menggandeng beberapa instansi pemerintah termasuk Kementerian Luar Negeri dan Kementerian UMKM. Prasetyo berpendapat, LDII merasa perlu meminta saran dan masukan sebagai tambahan pengetahuan terutama terkait UMKM ASEAN.”Bentuk kemitraan seperti apa yang sesuai di UMKM dan bagaimana menangani cross cultural? Sebab, UMKM ini menjadi titik fokus dan perlu pendampingan serta pembagian sektor-sektor,” ujar Prasetyo.LDII berharap, adanya sinergitas dengan instansi-instansi terkait sehingga data yang dibutuhkan tentang UMKM dapat terkumpul. Termasuk melihat di sektor apa sajakah UMKM Indonesia.
A.M. Fachir menanggapi masukan tersebut, dengan mengatakan pentingnya konsolidasi lebih dalam antar pelaku UMKM. Menurutnya, konsolidasi ini menjadi prioritas, sehingga nantinya memudahkan menjalin kemitraan. Kemitraan dinilai belum siap jika belum berkonsolidasi secara internal.
Fachir mengungkapkan kekhawatirannya, jika kemitraan dibangun saat ini, justru akan membuat Indonesia menjadi subbagian produsen utama. Padahal Indonesia memiliki peluang besar sebagai penyuplai. Contoh permasalahan, Vietnam yang memanfaatkan lahan Indonesia dengan menggali bahan baku kemudian dijual ke luar negeri. Lalu permasalahan banyaknya keuntungan yang diambil pihak lain dari impor beras.
“Yang pertama harus memahami kapasitas Indonesia dalam bermitra. Bagaimana Indonesia menjalin kemitraan dan ada baiknya bermitra di kalangan kita sendiri, sehingga memunculkan potensi dalam negeri,” ujar Fachir. Dia meyakini meningkatnya kapasitas dan dapat berdaya saing di negeri sendiri. Hal itulah yang mendorong Fachir menekankan pentingnya konsolidasi. Fachir menjelaskan, yang dimaksud konsolidasi agar tahu persoalan masing-masing pihak sehingga mudah memetakan masalah.
Terlebih lagi, UMKM dituntut melakukan restrukturisasi dan reorganisasi dengan tujuan memenuhi permintaan konsumen yang makin spesifik, cepat berubah, berkualitas tinggi dengan harga murah. Harapannya, UMKM berkembang positif memberikan kontribusi dalam menanggulangi permasalahan.
Kesimpulannya, bukan berarti kemitraan dalam UMKM tidak penting. Dilansir infoukm.wordpress.com, kemitraan penting bagi UMKM sebab menjadi jalur pengembangan bagi UMKM itu sendiri, dimana umumnya mengalami kesulitan tanpa adanya partisipasi dengan perusahaan yang lebih besar.
Ditinjau dari tiga sudut pandang, secara ekonomi, kemitraan ini menuntut efisiensi, produktivitas, peningkatan kualitas produk, penekanan biaya produksi, pencegahan fluktuasi suplai, penekanan biaya penelitian dan pengembangan, serta peningkatan daya saing. Dari segi moral, kemitraan menunjukkan adanya upaya kesetaraan dan kebersamaan. Sedangkan dari segi sosial politik, kemitraan mencegah kesenjangan sosial dan gejolak politik.
Hal tersebut dapat dicapai, selama kemitraan yang dilakukan berdasarkan prinsip saling memperkuat, memerlukan dan menguntungkan atau disebut juga etika berbisnis. (Noni/LINES)