Oleh : Ruly Siswa Bernaputra, Ketua Departemen Pengabdian Masyarakat DPP LDII
Penetapan Hari Lingkungan Hidup Indonesia pada 10 Januari ini diharapkan dapat menjadi reminder apa yang sudah dilakukan dan harus dilakukan ke depan untuk bumi nusantara. Kesadaran mengenai lingkungan harus ditanamkan mulai dari rumah tangga, sebagai komponen paling mendasar suatu perubahan. Sebab pada dasarnya, perubahan lingkungan tidak bisa hanya menjadi fokus pemerintah dan kalangan elit saja, akan tetapi harus menjadi tanggung jawab bersama seluruh komponen, termasuk rumah tangga sebagai bagian terkecil.
Masalah utama lingkungan adalah kesadaran akan pentingnya konservasi lingkungan dan rendahnya penegakan hukum. Kesadaran tidak hanya pada level masyarakat umum, namun masih banyak juga pelaku usaha yang mengutamakan keuntungan bisnis semata, dibanding kepedulian mereka terhadap kelestarian lingkungan. Hal ini dapat terlihat dari jumlah perusahaan penerima PROPER (Program Peringkat Kinerja Perusahaan) di sektor perlindungan dan pelestarian lingkungan, yang masih sangat sedikit dibanding jumlah perusahaan yang beroperasi di Indonesia.
Sejatinya aturan hukum tentang pengelolaan lingkungan di Indonesia yang diterbitkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sudah sangat banyak dan baik. Sayangnya penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan masih terkesan lemah, terutama di era reformasi. Namun masih ada kabar gembiranya. Kini Kementerian Lingkungan Hidup saat ini mulai getol dalam menindak perusahaan-perusahaan yang nakal di sektor lingkungan hidup. Pemerintah sebenarnya bisa melakukan lebih dari apa yang sudah mereka lakukan selama ini. Pemerintah memiliki semua sumber daya manusia dan anggaran. Tapi kembali kepada goodwill, apakah isu lingkungan menjadi prioritas atau tidak.
Ketidakpedulian elemen bangsa terhadap lingkungan, bisa dilihat dari penurunan Indeks Lingkungan Hidup Indonesia hingga 59,79 persen disebabkan aspek kesadaran dan pola konsumsi masyarakat Indonesia, serta pengelolaan lingkungan hidup yang belum terintegrasi khususnya di wilayah perkotaan/urban. Sebagai salah gambaran nyata adalah Indonesia merupakan salah satu negara big market bagi berbagai produk, mulai dari makanan, elektronik hingga otomotif.
Namun demikian sampah para goods consumer per harinya belum termanajemen dengan baik. Sebagai permisalan produk otomotif 2013 ini, sudah lebih dari 1 jutaan mobil yang terjual. Ditambah jumlah kendaraan yang sebelumnya sudah ada, bayangkan saja 50% dari 94 jutaan kendaraan itu bergerak bersamaan setiap pagi dan sore, bayangkan seperti apa kualitas udara yang kita hirup.
Konsumerisme hanya dapat dicegah dengan membangun kesadaran masyarakat. Jika semua rumah tangga sudah mulai sadar akan kewajibannya mengelola sampahnya, maka sampah bukan menjadi kendala lagi. Selain itu ulama dan pemuka agama dapat turut membantu menjaga lingkungan melalui pendekatan spiritual. Peran pemimpin-pemimpin agama di Indonesia masih sangat kuat.
Jalur ini menurutnya perlu dilirik oleh pengelola negara ini. Pendekatan keagamaan bisa menjadi media yang ampuh. Ruly memberi contoh di masjid yang dikelola oleh LDII, rata-rata setiap PAC mengadakan pengajian dengan mengundang ulama minimal 2-3 kali seminggu. Bila pesan tentang pelestarian lingkungan dimasukkan dalam konten pengajian, saya rasa akan banyak manfaatnya dibanding mudhorotnya.
Belum lagi di masjid-masjid yang memiliki sound system dimana satu RW bisa mendengar semua, ini yang perlu dilirik oleh pemerintah. Dia juga menjelaskan setidaknya ada 22 ayat di dalam Alquran dan Alhadits mulai dari hadits Muslim, Bukhari, Tirmidzi, hingga Ibnu Majah yang mengupas tentang pemeliharaan dan pemanfaatan lingkungan serta pencegahan bencana.