NASIONAL – Dalam sebulan terakhir mobil murah nan ramah lingkungan alias low cost green car (LCGC) menyita perhatian masyarakat, terutama di Jakarta. Masyarakat menengah ke bawah bisa menikmati memiliki mobil, namun di sisi lain, Jakarta bakal kian macet dan boleh jadi program mobil nasional alias mobnas tersaingi dengan LCGC.
Di awal memerintah Jakarta, banjir dan macet menjadi program pembenahan utama Gubernur DKI Jakarta Jokowi. Bahkan, Wakil Presiden Budiono memberi 17 solusi macet kepada Gubernur Fauzi Bowo yang harus dilanjutkan Jokowi. Di antaranya, pembenahan dan penambahan transportasi publik termasuk bus transJakarta, percepatan pembangunan Mass Rapid Transportation, penggunaan BBG, electronic road pricing (ERP), hingga pelarangan angkutan umum ngetem.
Saat Pemprov DKI Jakarta bersemangat membenahi transpotasi publik, tiba-tiba pada awal September kebijakan mobil murah dijalankan. Semua bereaksi, pro dan kontra. ÔÇ£Pengembangan mobil murah bisa membuat industri mobil nasional kolaps,ÔÇØ ujar pengamat ekonomi Suhari Sargo.
Menurut Suhari, keberadaan mobil LCGC yang dikembangkan pabrikan asing harusnya disesuaikan dengan kebijakan mobil nasional. Soalnya, industri mobil nasional merupakan aset nasional yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. ÔÇ£Industri mobil seperti Kancil, Esemka, itu kan 100 persen punya kita, kalau Agya dari Toyota, Ayla dari Daihatsu itu milik asing. Pemerintah harus mengaturnya,ÔÇØ ujar Suhari.
Suhari mengkhawatirkan satu hal: macet kian menjadi-jadi di ibu kota. Kemacetan Jakarta dipastikan mengular hingga kota-kota satelit penyangga Jakarta, seperti Depok, Tangerang, Bekasi, dan Bogor. Menurut Suhari Sargo, tingkat kemacetan di kota Jakarta, apabila dibandingkan dengan kota-kota lain di dunia, sudah termasuk dalam kategori yang membahayakan baik dari segi ekonomi dan sosial.
Berbagai riset menyebutkan betapa kemacetan mengacaukan ekonomi. Pada 2004, Japan International Cooperation Agency (JICA) melakukan penelitian bertajuk The Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek-Indonesia (Phase II), menyebut potensi kerugian akibat kemacetan di DKI Jakarta pada 2020 mencapai ┬▒ Rp 65 triliun per tahun.
Kerugian itu meliputi biaya operasional kendaraan Rp 28,1 triliun dan kerugian waktu produktif masyarakat Rp 36,9 Triliun. Hal ini belum termasuk kerugian kesehatan akibat polusi udara kendaraan bermotor di jalan. Mobil murah juga memungkinkan beban subsidi BBM yang terus meningkat. Pada 2012, beban subsidi dalam APBN mencapai Rp 137,4 trilliun dan bisa bertambah. Pertambahan kendaraan bermotor otomatis paralel dengan kualitas udara yang kian memburuk di Jakarta.
ÔÇ£Kemacetan mengakibatkan peningkatan biaya logistik perkotaan dan mengurangi daya saing kota, sehingga iklim investasi menurun,ÔÇØ ujar Suhari Sargo. Apa solusinya? Indonesia bisa meniru Singapura dengan melakukan pembatasan pertambahan kendaraan atau Sistem Kuota Kendaraan (Vehicle Quota System).
Berdasarkan kebijakan ini, jumlah kendaraan baru yang berhak melakukan registrasi izin didasarkan pada data pertumbuhan kendaraan dan jumlah kendaraan, yang sudah habis masa berlakunya. Selama 12 tahun terakhir sejak VQS diperkenalkan pada Mei 1990, tingkat pertumbuhan kendaraan pada setiap tutup tahun tidak melebihi kebijakan yang telah ditetapkan, yaitu sekitar 3% dan sampai dengan tahun 2011 diperkirakan jumlah populasi mobil di Singapura sekitar 956.704 unit. Bandingkan di Jakarta kendaraan telah mencapai 1,9 juta unit. Belum lagi kiriman dari wilayah sekitarnya, yang mencapai 621.460 unit dan belum lagi populasi sepeda motor 9,8 juta unit.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit menilai, sebenarnya, ada solusi dari permasalahan tersebut. Menurutnya, jika pemerintah ingin melanjutkan program kebangkitan industri otomotif, tetapi juga dibarengi dengan perbaikan transportasi publik, yang harus dilakukan ialah bukan menghasilkan mobil-mobil pribadi, melainkan menghasilkan bus. “Misalnya, bus listrik atau bus hybrid. Yang memproduksi bus ini akan diberi insentif.
Menurut Danang, bila melakukan hal tersebut, pemerintah akan menyelesaikan dua hal. Satu sisi, kinerja sektor perindustrian baik, begitu juga dengan sektor perhubungan. Industri otomotif tetap tumbuh disertai perbaikan transportasi publik. Selain itu, lanjut Danang, pihak lain yang diuntungkan adalah pengusaha transportasi yang selama ini selalu kesulitan melakukan peremajaan unit-unitnya. Akibatnya, jumlah bus tak layak yang masih beredar masih banyak.
Pro kontra mobil murah atau mobil nasional bagi Ketua DPP LDII Prasetyo Soenaryo, adalah soal kemandirian bangsa dalam teknologi, ÔÇ£Kemandirian di bidang otomotif sudah dimulai sejak era Presiden Soeharto, yang memfasilitasi Texmaco membuat truk dan mobil,ÔÇØ ujarnya. Lalu Dana Moneter Internasional (IMF) meminta pemerintah menghentikan program mobil nasional Texmaco.
Prasetyo mengingatkan nilai ekonomis dari industri otomotif sangat luar biasa. Menurutnya mobil nasional tanpa dukungan pemerintah tak akan berjalan, ÔÇ£Mobil murah itu bisa murah dilihat dari sisi teknologi, manajemennya, atau insentif,ÔÇØ paparnya. Namun bagaimanapun mobil murah harus diatur, agar tak mematikan mobil nasional.
Negara-negara eksportir otomotif awalnya juga dibantu oleh pemerintah, misalnya Hyundai di Korea Selatan lalu Pronton di Malaysia. Maka jangan berharap Indonesia memiliki mobil nasional yang setara dengan Korea Selatan, Malaysia, bahkan Jepang, bila pemerintah tidak mendukung mobil nasional. ÔÇ£Kita memiliki Esemka, yang bisa didorong menjadi mobil nasional sekaligus murah. Lambat laun teknologinya membaik dan kian murah karena dibeli masyarakat Indonesia,ÔÇØ ujar Prasetyo Soenaryo. (Fahmy Fadli)