POLITIK – Indonesia tak lama lagi menghelat Pemilu 2014. Perjalanan bangsa Indonesia dalam lima tahun terakhir ditandai dengan korupsi oleh kader parpol. Hal ini menunjukkan proses pemilu harus ditinjau ulang, untuk melahirkan keterwakilan bukan keterpilihan.
Untuk itu International Conference of Islamic Scholars (ICIS) menghelat seminar nasional mulai 10-12, yang mengundang pakar dari berbagai ormas Islam dan pengamat politik. DPP LDII diwakili oleh Ketua DPP Ir Prasetyo Soenaryo Msc. Menurut Prasetyo, selagi Pemilu masih melibatkan uang dalam proses pemilihan wakil rakyat, maka akan terus memicu terjadinya korupsi oleh elite politik.
Politik transaksional hanya akan menciptakan kepemimpinan transaksional, bukan kepemimpinan transformasional. Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, demokrasi Indonesia belum melahirkan pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab. Menilik wajah demokrasi Indonesia saat ini yang penuh problematika. Carut-marut dunia perpolitikan yang berkolaborasi dengan budaya feodal menghasilkan suatu dinasti politik dan penyalahgunaan aset-aset negara oleh kaum elit yang tidak diimbangi dengan sistem hukum dan etika.
Inilah yang dihadapi bangsa Indonesia. Bukan lagi perang terbuka dengan bangsa atau negara lain namun dengan kepribadian bangsa ini sendiri. “Demokrasi tidak menjamin keterpilihan orang-orang yang berkeadilan,” ujar pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie berpendapat, ketika dijumpai di Kantor Pusat International Conference of Islamic Scholars, Kamis (12/12/2013) dalam seminar Pekan Politik Kebangsaan.
Tugas pemimpin, menurut Jimly, yaitu menerapkan system building yang telah dibuat, memastikan penegakan sistem kerja (pelaksanaannya dalam sistem kepemerintahan), mendidik rakyat (transparansi dengan rakyat), dan mencontoh sosok yang patut ditiru untuk dijadikan teladan (uswatun hasanah). “Pemimpin jangan hanya bicara kebijakan di atas tapi juga pelaksanaannya di bawah,” tegasnya.
Pemilu yang sejatinya merupakan momentum demokrasi untuk mewujudkan pemimpin yang adil. Namun, cita-cita tersebut tidak akan terwujud selama keberadaan korupsi melalui politik transaksi masih ada. Pembudayaan pendidikan melawan korupsi dalam bentuk apapun sangat diperlukan. Disinilah peran lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibutuhkan.
Ketua KPK, Abraham Samad membeberkan tiga faktor yang menjadi konsentrasi KPK yaitu, liberalisasi sektor pangan, sumber daya dan energi, serta pendapatan (APBN). “Harus stop impor pangan jika ingin mewujudkan swasembada pangan, kemudian yang kedua, KPK melihat banyak kebocoran dari hasil observasi dalam sektor sumber daya dan energi, tambah lagi yang ketiga, APBN kita tinggi, namun tidak bisa optimal disebabkan kebocoran disana-sini,” jelasnya.
Pendidikan anti korupsi, masih menurut Abraham, memang harus sejak dini. Bahkan dalam hal sekecil apapun dan pendidikan itu dimulai dari keluarga. Orangtua, terutama ibu mempunyai peran penting. “Bila seorang ibu rumah tangga hedonistik, maka akan mengarahkan suaminya menyimpang, betul tidak?” Tanyanya berkelakar disambut tawa para peserta seminar.
Abraham sempat menceritakan masa kecilnya yang dilarang keras mengambil barang sekecil apapun tanpa izin. “Setidak berharganya barang apapun, bila bukan miliknya tidak boleh diambil apalagi dipakai, saya masih ingat betul kata-kata ibu saya sampai sekarang,” ujar Abraham.
Lalu, bagaimana solusi menghadapi permasalahan demokrasi jelang pemilu 2014 yang penuh dengan politik transaksi? Realitanya pemilu masih dihadapkan dengan rendahnya integritas baik dari kontestan maupun penyelenggara pemilu. “Praktek politik uang yang terjadi bukan lagi dianggap politik tapi lebih menjadi bahasa komunikasi untuk strategi pemenangan kandidat politik,” kata Abdullah Dahlan peneliti ICW.
Kuncinya, perlu adanya penataan skema pemilu yang dibangun dari suasana saling percaya, kerjasama dan konsolidasi dari berbagai elemen kekuatan civil society untuk mendesak perubahan kepada para elit penyelenggara negara. Rakyat bukan sekedar massa yang mudah terprovokasi dan dimanipulasi, namun rakyat adalah warga negara yang merupakan pemilik kedaulatan dan pemberi mandat politik.
Dengan begitu, demokrasi dapat mewujudkan mimpi rakyat Indonesia yang menginginkan pemerintahan bersih, jujur, adil dan bertanggung jawab, tidak hanya terperangkap pada siklus politik transaksional elit parpol lima tahunan. (Noni/LDII News Network/foto: siaga.co)