Mari Tertib, Hindari Ego yang Tinggi
ALHAMDULILLAH syukur atas rahmat dan hidayah Alloh Subhanahu wa Taala, sholawat serta salam kepada Nabi Muhammad Shollallohu alaihi Wassalam beserta keluarga, sahabat, tabiit, tabiin, ulama dan seluruh penyampai agama Islam yang haq ini, serta alhamdulillah syukur jazaakumullahu khaira kepada para pembaca setia seri catatan perjalanan ini.
Dalam rangkaian perjalanan menelusuri jejak Rasulullah Shollallohu alaihi Wassalam di Tanah Haram, yang menjadi pokok kali ini adalah melaksanakan ibadah umroh.
Umroh itu sendiri secara bahasa bermakna meramaikan, namun secara istilah memiliki makna mengunjungi Baitullah, untuk meramaikannya dengan ibadah sesuai aturan yang telah ditentukan dalam al Quran dan al Hadits.
Motivasi dan niat seseorang menunaikan ibadah umroh atau haji sangat beragam, dan yang lebih penting adalah memurnikan niat, mukhlis lillah, mengharapkan rahmat Allah, dan takut akan azabNya. Ini penting dan menjadi dasar, agar jangan sampai terkotori oleh riya, ujub, hanya sekadar ingin dipanggil Pak Haji saja misalnya.
Apabila niat sudah tertata baik, perlu diimbangi dengan ilmu serta bekal yang cukup. Ilmu ini penting agar apa yang dilakukan selama dalam rangkaian ibadah tersebut, telah sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulullah.
Beberapa dijumpai orang-orang yang menunaikan haji atau umroh, melakukan sesuatu yang membatalkan ibadahnya, atau mengurangi pahalanya tanpa disadari, hanya karena tidak sesuai tuntunan.
Beberapa contoh yang saya temui adalah saat tawaf ada orang yang memeluk, mengusap, bahkan mencium bangunan Maqam Ibrahim. Paling banyak adalah orang-orang yang bergelantungan di pintu Kabah, meratapi dinding Kabah, dan lainnya yang jelas-jelas tidak ada dasar hukum syar’inya, bahkan malah mendekati syirik.
Selain itu, saat tawaf, tak perlu main serondol-serondolan, sepur-sepuran seperti anak kecil, berbaris 5 orang saling memegang pundak, main terabas sana sini menang sendiri, dan cenderung mendorong atau mendesak orang lain.
Beberapa kali saya melihat orang-orang yang sholat di tengah jalan tawaf, entah apa maksudnya, padahal disana ada larangan sholat di tengah jalan. Orang-orang ini seolah tidak peduli orang-orang yang tawaf sering menabraknya karena tidak mengetahuinya. Orang-orang ini juga tidak peduli petugas yang memberi peringatan padanya untuk tidak sholat di tengah jalan, bahkan ada yang anaknya ditidurkan di depannya sebagai pembatas sholat. Apa jadinya jika anak tersebut tak sengaja terinjak orang lain saat lewat?
Begitu juga saat sa’i, tak perlu semua lintasan dibikin lari kencang terus, main kejar-kejaran, seperti sedang ikut lomba lari marathon 3 Kilometer, cape deh.
Tuntunan umroh setidaknya melaksanakan rukun umroh mulai dari berihram, miqat, tawaf, sa’i, tahalul, dan tertib. Dalam catatan ini, saya tertarik membahas masalah tertib. Untuk manasik, doa, dan tata caranya, silakan pelajari dari para mubaligh yang berpengalaman.
Tertib ini menurut saya penting, seperti seolah mengisyaratkan apakah ibadah haji atau umroh yang telah dikerjakan sudah sesuai tuntunan atau belum. Tertib menyangkut perilaku, baik sebelum, selama, atau setelah melaksanakan ibadah. Tidak melulu berbuat baik, tapi juga mencegah berbuat buruk.
Saya teringat seseorang yang mengatakan berbuat baik itu bukanlah lebih utama, tetapi yang lebih utama adalah mengimbanginya dengan menghindari berbuat buruk. Melaksanakan ibadah umroh dengan baik adalah perlu, namun yang lebih diperlukan adalah baik sebelum, selama, atau setelah melaksanakan ibadah, juga dengan selalu menghindari berbuat buruk.
Contoh dalam kehidupan sehari-hari, sering mengerjakan sholat adalah baik, namun sholatnya seperti tak memiliki arti apabila ia masih mengerjakan perbuatan buruk, masih suka berbohong atau durhaka pada orang tuanya misalnya.
Firman Allah, Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. [QS Ali Imron 104]
Ada yang mengatakan menyeru kebajikan yang efektif bukan melalui tutur kata. Mengutip KH. Aceng Karimullah dalam akun Facebook-nya, ibda’ binafsik, mulailah dari dirimu sendiri. Ingin isteri jadi sholehah? Jadikan dulu diri kita sebagai suami yg sholih. Ingin anak-anak menjadi sholih/ah? Jadikan dulu diri kita sebagai ortu yang sholih. Ingin anak-anak jadi penyabar? Jadikan dulu diri kita sebagai ortu yg sabar. Ingin anak-anak menjadi disiplin? Jadikan dulu diri kita sebagai ortu yg disiplin. Karena pendidikan lewat keteladanan jauh lebih effektif ketimbang lewat “ceramah” meski mulut sampai berbusa-busa. [Selasa, 23/7/2013]
Di satu sisi, sering kita mendengar cerita pengalaman orang lain atau juga pernah mengalami sendiri mendapat perlakuan buruk orang lain, bagaimana sikap kita?
Tak bisa dipungkiri, kadang saat melaksanakan ibadah haji atau umroh, seseorang mendapati perlakuan buruk orang lain. Jual beli dibohongi misalnya. Apakah kita membalasnya, atau paling tidak memarahinya?
Ada yang mengatakan tidak menyakiti orang lain bukanlah kebaikan, akan tetapi sesungguhnya kebaikan adalah bersabar menerima perilaku buruk orang lain.
Mengutip firman Allah, Jadilah engkau (Muhammad) pemaaf, dan suruhlah orang mengerjakan yang maruf, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. [QS Al AÔÇÖrof: 199]
Dari sedikit uraian di atas, inilah alasan lain menurut saya mengapa perlunya tertib. Tertib saat ibadah haji atau umroh, manfaatnya bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi setidaknya tidak merugikan atau membahayakan orang lain, syukur-syukur membawa manfaat barokah untuk banyak orang.
Demikian catatan ini, semoga Alloh paring manfaat dan barokah, aamiin.
Bersambung …