Hari Lebaran sudah semakin dekat, saya jadi ingat nasehat Abah saya tentang bagaimana tata cara kita menerima tamu, yaitu dengan tiga prinsip yang diambil dari adat dan filosofi Jawa : Gupuh, Lungguh, Suguh. Bagi orang Jawa Tengah terutama Solo sudah tidak asing dengan ungkapan ini, karena filosofi ini sudah menjadi etiket umum, suatu budaya universal yang mendarah daging dalam etika menerima tamu di Jawa.
Prinsip sebenarnya adalah sang tuan rumah dalam menghormati tamu harus dilakukan secara sungguh-sungguh, tulus dan jujur baik secara ucapan dan perbuatan, sehingga bisa membuat tamu merasa nyaman, merasa diuwongke, serta merasa disumanggaake artinya diterima dengan tangan terbuka.
Gupuh, mengandung makna sebagai tuan rumah hendaknya bersikap ramah, hangat dan antusias saat menyambut kedatangan tamunya. Seorang tuan rumah harus rela meninggalkan kegiatannya dan harus bisa menekan egonya. Misalnya berusaha menyembunyikan raut wajah yang semula cemberut menjadi lebih berseri-seri, atau yang semula berpakaian awut-awutan menjadi lebih rapi.
Lungguh, berarti mempersilahkan sang tamu untuk segera masuk kelingkungan rumah untuk duduk, bisa diteras rumah atau didalam ruang tamu tergantung situasi. Dalam budaya Jawa, tamu tidak akan duduk sebelum dipersilahkan untuk duduk , istilahnya belum dimanggakna. Biasanya sambil mempersilahkan duduk si tuan rumah memberi sambutan basa-basi sebagai bumbu penyedap supaya suasana lebih gayeng atau semarak seperti; wah tambah awet muda saja, tambah cantik saja, atau njanur gunung (janur dari gunung = pohon aren jarang ada janurnya) istilah umumnya, tumben jauh-jauh datang kesini dan menanyakan kabar, naik kendaraan apa, apa yang bisa dibantu dan ungkapan-ungkapan lain yang menjadi semacam upacara pembukaan sehingga si tamu bisa merasa nyaman (feel home) sebelum masuk kedalam suasana percakapan yang lebih serius.
Suguh, adalah memberikan hidangan bagi tamu. Hidangan ini bisa berupa minuman, makanan kecil atau bahkan makan besar. Dalam budaya Suguh ini ada penekanan bagi tuan rumah untuk berkorban secara financial dengan sedikit ‘memaksakan diri’ demi menghormati sang tamu. Kalau dikampung biasanya dengan suka rela tuan rumah memotong ayam, mengambilkan kelapa muda atau memetikkan buah dipohon untuk tamunya. Bagi sang tamu juga harus bisa mensikapi suguh ini, jika belum dipersilahkan mencicipi hidangan maka tidak boleh serta merta mengambil makanan yang disuguhkan, tamu harus sabar menunggu hingga empunya rumah mempersilahkan untuk mencicipi hidangan.
Itulah sekilas pengertian Gupuh Lungguh Suguh, tentu saja praktik Gupuh Lungguh Suguh ini tidak harus sama persis dengan apa yang dipraktekkan oleh orang Solo, yang notabene penuh dengan tatakrama adat keraton. Inti dari filosofi ini adalah antara tuan rumah dan tamu agar bisa saling tepo seliro, atau saling toleransi dengan mengedepankan keharmonisan dan keselarasan dalam rangka menjaga kerukunan kekompakan kerjasama yang baik.
Saran saya dalam suasana silaturahim Iedul Fitri nanti sang tuan rumah supaya bisa menetapi filosofi Gupuh Lungguh Suguh dalam menerima tamu (Tamu dalam bahasa Jawa artinya : tanggap ing semu) artinya tuan rumah harus bisa memahami dan mengerti tujuan orang yang bertandang kerumah kita. Sebaliknya bagi yang menjadi tamu supaya bisa angon wayah, melihat situasi dan waktu yang tepat untuk bertamu dengan menjaga etika, jangan yak-yakan, jangan crongohan lurr..
Tamu itu memang raja,tapi juga bisa menjadi bencana