I b u
Baru sekarang terasa ada sesuatu kepada Ibuku. Saya perhatikan seolah kami berdua berlomba berbuat kebaikan. Ketika saya berbuat satu kebaikan, Ibu malah lebih baik lagi kepadaku, dengan berpuluh-puluh kebaikan. Sikapnya melebihi seperti kepada bukan anaknya. Hingga akhirnya saya merasa kalah; kapan saya bisa membalas kebaikannya, kalau terus-menerus Ibu selalu berbuat baik dan baik kepadaku? Padahal seharusnya sayalah yang paling berkewajiban untuk melakukan itu semua, birrul walidain. Padahal saya belum sampai seperti kisah berikut ini.
Suatu hari, Ibnu Umar melihat seorang yang menggendong ibunya sambil thawaf mengelilingi Ka’bah. Orang tersebut lalu berkata kepada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar, menurut pendapatmu apakah aku sudah membalas kebaikan ibuku?” Ibnu Umar menjawab, “Belum, meskipun sekadar satu erangan ibumu ketika melahirkanmu. Akan tetapi engkau sudah berbuat baik. Allah akan memberikan balasan yang banyak kepadamu terhadap sedikit amal yang engkau lakukan.” (Diambil dari kitab al-Kabair karya adz-Dzahabi)
Terasa semakin panjang daftar ketertinggalan diri ini akan kebaikanmu, Ibu. Apalagi kalau mengingat lagu kala bocah dulu, yang selalu mengigatkanku akan semua itu.
Kasih ibu kepada beta/
Tak terhingga sepanjang masa/
Hanya memberi tak harap kembali/
Bagai sang surya menyinari dunia.
SM Mochtar menggambarkan dengan pas dan tepat, jasa seorang Ibu kepada anaknnya. Tak berbalas, tak terhingga. Sayang hanya sebatas lagu, belum sepenuhnya mampu melakukannya.
Ketika pulang kampung, selalu saja Ibu menyediakan makanan enak kesukaanku waktu kecil. Blenyik (semacam bergedel terbuat dari campuran ketela dan kelapa) dan ingkung (ayam utuh) selalu disediakan. “Ini untukmu,” katanya. Harusnya sekarang waktukulah untuk menyediakan makanan yang sehat buat Ibuku. Kala dia butuh asupan untuk memelihara kebugaran tubuhnya yang sudah renta. Tapi ini malah sebaliknya. Ketika saya tolak, dengan lembutnya ia menjawab; “Ibu senang, kamu sudah bantu Ibu selama ini. Dan ini sedikit yang bisa Ibu berikan. Makanlah.” Aku pun terkesima, harus bagaimana lagi selain menerima dan mensyukurinya. Rasanya seperti mitra dagang. Jauh di relung hati, tertambat nelangsa, apalagi kalau mengilas balik kisah-kisah istimewa akan hal ini.
Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib adalah seorang yang terkenal sangat berbakti kepada ibunya, sampai-sampai ada orang yang berkata kepadanya, “Engkau adalah orang yang paling berbakti kepada ibumu, akan tetapi kami tidak pernah melihatmu makan bersama ibumu.” Beliau menajawab, “Aku takut kalau-kalau tanganku mengambil makanan yang sudah dilirik oleh ibuku. Sehingga aku berarti mendurhakainya.” (Diambil dari kitab Uyunul Akhyar karya Ibnu Qutaibah).
Masih terekam dalam di dalam ingatan, kalau Ibu suka memberikan bagian-bagain makanan yang terenak kepada anaknya, untuk menghindari rebutan dan keributan. Dan sebenarnnya Ibu pasti menginginkan makanan enak itu, tapi ia mengalah. Rela berbagi dan memilih makan makanan sisa yang ditolak anak-anaknya. Bahkan, makanan yang tidak enak pun dia bilang enak, sangat eunak, agar anaknya mau memakannya, mencontohnya. Ohh, Ibu..! I missed U.
Engkau pasti seperti cerita seorang ibu di jaman Nabi Nuh AS dulu. Ketika air sudah menenggelamkan dunia, seorang Ibu berteriak-teriak memanggil anaknya, “Kemari Nak, biar kugendong kamu.” Biarlah Ibu yang menderita dan engkau bahagia. Tatkala air terus naik hingga sampai ke daun telinga, si Ibu mengangkat anaknya di atas kepala. Biar selamat, walau nyawa taruhannya. Sayang, tak ada yang selamat pada hari itu, kecuali orang yang di perahu.
Jiwamu pastilah sejati, mulia seperti kisah seorang Ibu di jaman Nabi Sulaiman AS dulu. Ketika itu ada pertengkaran sengit dua orang ibu memperebutkan anak. Begitu sengitnya pertengkaran itu, hingga sampailah kepada Nabi Sulaiman AS untuk menyelesaikannya. Kemudian Nabi Sulaiman AS memutuskan akan membelah bayi itu menjadi 2, agar masing-masing mendapat bagian. Separo ewang. Sang Ibu yang palsu setuju dengan hukum Nabi Sulaiman itu, sedangkan Sang Ibu yang asli menangis tak tega anaknya dibelah menjadi dua.
Kematian adalah sebuah kekalahan. Maka, dengan berat hati ia menyatakan kerelaannya menyerahkan bayi itu kepada lawannya, agar anak itu selamat. Apapun dilakukan oleh seorang Ibu yang sejati, agar anaknya selamat. Dan akhirnya Nabi Sulaiman pun tahu, bahwa Ibu yang meronta-ronta iba, itulah ibu yang sebenarnya. Sedangkan yang tertawa-tawa bahagia, itu sang pendusta. Akhirnya Nabi Sulaiman menyerahkan kembali anak itu ke pangkuannya.
Dan terngiang di kelopak ini syair: li ummika haqqun lau alimta kabiiru... (bagi Ibumu ada hak yang sangat besar jika kamu mengetahuinya.) dan tak tertahan lagi menetes air mata ini. Haru menghayati dan memahami bait demi bait syair yang berlalu nan sendu itu. Pergulatan yang hebat untuk selalu fastabiqul khairot (berlomba dalam kebaikan) dan birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua).
Ketika di ujung telepon engkau bertanya; “Gak ada rencana pulang?” Berarti itu sebenarnya perintah untuk pulang. Sayang aku selalu beralasan dengan kesibukan-kesibukan, acara demi acara dan pertemuan ke pertemuan sehingga engkau pun sepertinya mafhum adanya. Padahal buat Ibu itu hal sederhana; bertemu dengan wajah anaknya dan cucu-cucunya. Namun justru sekarang berhadapan dengan wajah-wajah kesibukan, topeng-topeng acara, dan rupa-rupa meeting yang abstrak buatnya. Namun, ia mencoba memahami zaman dan segala rupa dinamikanya. Betapa bersalahnya aku, tidak menjawab panggilan itu dengan tepat. Malah, aku hanya minta doa agar semua diberi kelancaran dan kebarokahan. Tidak seperti Haiwah bin Syuraih, seorang ulama besar, yang suatu hari ketika beliau sedang mengajar, ibunya memanggil. “Hai Haiwah, berdirilah! Berilah makan ayam-ayam dengan gandum.” Mendengar panggilan ibunya beliau lantas berdiri dan meninggalkan pengajiannya . (Diambil dari al-Birr wasilah karya Ibnu Jauzi). Masih jauh panggang dari apinya.
Bahkan, kala mendengar kabar sakit Ibupun, masih terus sibuk dengan urusan kerja dan kerja. Seraya dengan mudah bibir ini berkata; “Sudah dibawa ke dokter kan? Ke rumah sakit saja?” Duh, anak macam apa aku ini. Begitu ringannya berkata seperti itu, hanya alasan jarak dan waktu. Dan diri ini tersiksa karenanya.
Bertolak belakang dengan Kahmas bin al-Hasan at-Tamimi. Suatu ketika ia melihat seekor kala jengking berada dalam rumahnya, beliau lantas ingin membunuh atau menangkapnya. Ternyata beliau kalah cepat, kalajengking tersebut sudah masuk ke dalam liangnya. Beliau lantas memasukkan tangannya ke dalam liang untuk menangkap kala jengking tersebut. Beliaupun tersengat kala jengking. Melihat tindakan seperti itu ada orang yang berkomentar, “Apa yang kau maksudkan dengan tindakan seperti itu?” Beliau mengatakan, “Aku khawatir kalau kala jengking tersebut keluar dari liangnya lalu menyengat ibuku.” (Diambil dari kitab Nuhzatul Fudhala). Ibu, berikan aku kesempatan untuk menjagamu. Maafkanlah anakmu.
Di dalam bebal memori otak anakmu ini, masih terngiang keinginan-keinginan Ibu. Walau itu datang samar dan sendu, deburnya masih jauh belum berlalu. Terekam nian dalam kalbu. Terngiang kencang di telingaku. Aku bisa merasakannya, namun tidak semua bisa aku penuhi. Walau sudah beribu kali aku mohon pertolongan Ilahi Robbi dan usaha kanan-kiri. Semoga cukup waktu untuk semua itu. Dan kemampuan ada bersamaku.
Memang tidak seperti cerita Muhammad bin Sirrin yang mengatakan, di masa pemerintahan Ustman bin Affan, harga sebuah pohon kurma mencapai seribu dirham. Meskipun demikian, Usamah bin Zaid membeli sebatang pohon kurma lalu memotong dan mengambil jamarnya (bagian batang kurma yang berwarna putih yang berada di jantung pohon kurma). Jamar tersebut lantas beliau suguhkan kepada ibunya. Melihat tindakan Usamah bin Zaid, banyak orang berkata kepadanya, “Mengapa engkau berbuat demikian, padahal engkau mengetahui bahwa harga satu pohon kurma itu seribu dirham.” Beliau menjawab, “Karena ibuku meminta jamar pohon kurma, dan tidaklah ibuku meminta sesuatu kepadaku yang bisa kuberikan pasti ku berikan.” (Diambil dari sifatush shafwah) Banyak yang bisa aku berikan, sebenarnya, tetapi aku belum bisa melakukannya. Jiwa ini masih berhitung dengan prioritas-prioritas yang bahkan dibuat-buat, hingga mengalahkan prioritas Ibu. Oh, betapa bodohnya aku.
Rasululah SAW bersabda: “Celakalah, celakalah, celakalah”. Ada seseorang yang bertanya: “Siapakah dia ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Orang yang menjumpai kedua orang tuanya yang sudah tua, salah satu atau kedua-duanya, tapi dia tidak masuk surga”. (HR. Muslim).
Dalam hening malam bisu, dalam nestapa anak manusia dan pada waktu yang tersisa, aku selalu berdoa untuk kebaikanmu Ibu. Masih banyak yang belum bisa saya lakukan, banyak yang masih harus saya kerjakan, semoga aku bukan menjadi anak yang durhaka. Melalui dirimulah aku lahir ke dunia, atas jasamulah aku bisa seperti sekarang dan kepadamulah aku punya kewajiban hak, semoga engkau bisa menerimanya. Ridha robbi biridhal walaadi. Dan semoga Allah berkenan memberi hidayah kepadamu. Itulah harapan terakhirku. Amin.
Penulis: Faizunal ‘Kusmono’ Abdillah