JAKARTA – Era 4.0 menciptakan disrupsi. Di dunia pendidikan, diperkirakan 65 persen anak yang masuk sekolah dasar saat ini kelak akan bekerja pada mata pencaharian baru di masa depan. Hal itu dibahas dalam Lokakarya Nasional kedua yang dihelat Kantor Pusat DPP LDII Senayan Jakarta, Kamis (12/9). Kali ini mengambil gagasan pendidikan dengan tema Peningkatan Kualitas SDM Berbasis Digital.
Sebagai pembicara utama, Kepala Pusat Teknologi Informasi Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud RI Gogot Suharwoto bahwa Era 4.0 sudah mendunia “Dan kita bersinggungan dengannya,” tuturnya. Sebut saja teknologi penyimpanan data berbasis Cloud, kecerdasan buatan, dan Internet of Things (IOT).
Bagaimana kaitannya dengan dunia pendidikan? “Anak milenial kini sejak lahir sudah terpapar teknologi digital. Misalkan ayah mem-posting foto anaknya yang baru lahir ke media sosial. Anak-anak milenial kini memiliki akses smartphone dan menghabiskan sedikitnya tiga jam dalam sehari,” ungkapnya memberi gambaran.
“Kita perlu memahami generasi yang kita hadapi. Bahannya apa? Kita ingin membuat kendi maka bahannya dari tanah liat. Kita harus tahu, anak-anak yang lahir terpapar internet secara genetik sudah berbeda dengan guru yang lahir di tahun 80-an,” ujarnya.
Maka, lanjutnya, pendidikan saat ini harus selaras dengan tuntutan Revolusi Industri 4.0. Output pendidikan harus mampu menyiapkan lulusan yang siap menghadapi masa dimana mereka akan menjalani hidup kedepannya.
Gogot menambahkan, generasi milenial harus memiliki skills atau keterampilan berpikir kritis, berkolaborasi, komunikasi, dan kreativitas. Mereka perlu mendapatkan pengalaman belajar yang bervariasi mulai dari yang sederhana sampai pengalaman belajar yang bersifat kompleks. Ia sangat berharap guru-guru Indonesia terus berbenah diri.
“Banyak pernyataan, kunci pendidikan ada di guru. Kurikulum dan kelas apapun jika guru tidak bagus maka semua tidak bagus. Guru harus siap mengimplementasikan teknologi dalam pengajarannya,” tegas Gogot.
Sejak tahun 2007 hingga dibentuknya kurikulum tahun 2013, guru sudah diarahkan memiliki kompetensi memanfaatkan teknologi untuk pengajaran. Minimal mampu membuat konten pembelajaran berbasis teknologi.
Guru juga harus memperhatikan prinsip mampu menerapkan teknologi yang terintegrasi, sistematis, dan efektif. Walaupun demikian, teknologi tetaplah alat. Agar siswa-siswa di era milenial mampu bekerja sama dan termotivasi, guru memiliki peran yang penting.
“Harus ada perubahan, guru yang biasanya instruksi artinya gaya memerintah harus dirubah menjadi gaya konstruksi, anak-anak bisa terlibat sehingga bisa membentuk pemahamannya masing-masing,” ujarnya.
Untuk mengakomodir hal itu, Kemendikbud memiliki platform digital berupa Rumah Belajar. Di dalamnya terdapat konten audio visual yang dapat diunggah oleh para pakar pendidik. Contohnya adalah simulasi pembelajaran,
Di waktu yang sama, LDII me-launching Pondok Belajar Profesional Religius yang bisa diakses di pondokbelajar.ldii.or.id. Platform digital ini mengakomodasi para pelaku dan pakar pendidikan di lingkungan LDII seperti guru, mubaligh mubalighot, orang tua, pamong, yayasan, hingga ketua pesantren.
Gogot Suharwoto pun berharap, platform ini dapat bersinergi dengan platform Rumah Belajar Kemendikbud. Soal kerjasama, ia sangat terbuka karena pada dasarnya, Rumah Belajar Kemendikbud pun berbasis APBN yang berasal dari rakyat.
“Jika LDII mau mengadaptasi konten yang ada, kami punya 40.000 konten audio visual. Kami juga akan memberikan pelatihan pada guru-guru LDII,” ujarnya.
Pada kesempatan ini, media ini mencoba platform digital pondok belajar yang baru diluncurkan ini. Calon pengguna harus mendaftar terlebih dahulu dengan menggunakan email. Setelah berhasil konfirmasi email, saat login tampak beberapa pengguna baru yang juga sudah terdaftar. Pada bagian dashboard tersedia menu untuk orang tua, pamong, guru, pengelola yayasan, pimpinan sekolah, serta tenaga administrasi. (*/LINES)