Ini hanya hal kecil, dan sebenarnya tidak begitu penting. Tetapi sebagai pemerhati situasi, saya tergelitik menulisnya. Boleh juga dibilang usil, begitu saja kok jadi perhatian. Tak tahulah, mau dibilang apa lagi, silahkan berkomentar setelah membaca sampai tuntas tulisan ini. Sebab ini bukan masalah benar atau salah, jadi tak usah terlalu dipusingkan. Cukup untuk tau sama tau saja.
Di beberapa tempat yang sempat saya singgahi, (kayak traveller saja) padahal hanya di seputar Jakarta, Jawa Tengah, maupun Jawa Timur, ada rasa bangga melihat penampilan imam-imam sholat. Ada peningkatan signifikan terhadap kualitas bacaan para imam. Demikian juga ketika berkhutbah. Penampilan juga oke, rapi dan nyantri. Ada kesan berwibawa dibuatnya. Nah, ketika maju mengimami, di sinilah bermula ada ‘perubahan’. Perubahan yang menurut saya perlu perhatian.
Dulu, kalimat yang sering dikatakan imam sebelum memulai sholat adalah istawuu walaa takhtalifuu. Sampai-sampai anak-anak kecil suka bergurau mendahului imamnya; sawu, sawu… Anak saya malah suka nyebut dengan sawut… sewu… (bingung antara uang seribu dan meluruskan barisan). Hanya kalimat itu yang sering terdengar, tak ada yang lain. Hal ini dimengerti, sebab kalimat itulah yang ada di K. Sholah. Jadi sangat wajar ia populer di kalangan imam sholat dan jamaahnya. Hanya kalangan tertentu yang biasanya menggunakan kalimat lain selain kalimat di atas, utamanya para petualang ilmu yang telah merambah Hadits Besar.
Nah, setelah diberikan penjelasan menyangkut imam sholat, barulah terbuka pemahaman kalimat yang dibaca imam sebelum memulai sholat. Ternyata tidak hanya istawuu, akan tetapi ada beberapa kalimat yang lain. Sejak saat itu, mulai bervariasilah perkataan para imam ketika meluruskan barisan sebelum sholat. Para imam bisa memilih antara lain;
- Istawuu walaa takhtalifuu, fatakhtalifa quluubukum. (Rowahu Muslim, An-Nasa’i)
- Sawuu shufuufakum, fainna taswiyatash shoffi min iqomatish sholaah “Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk tegaknya sholat“. (Rowahu Bukhary)
- Sawuu shufuufakum, fainna taswiyatash shoffi min tamaamish sholaah. Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk kesempurnaan sholat‘. (Rowahu Muslim)
- Aqimuu shufuufakum wataroosh-shuu ‘Tegakkanlah shaf-shaf kalian dan rapatkan. (Rowahu Bukhary)
- Istawuu wa’addiluu shufuufakum Luruskan dan ratakan shaf-shaf kalian (Rowahu Abu Daud)
- I’diluu sawwu shufuufakum Ratakan dan luruskan shaf-shaf kalian (Rowahu Abu Daud)
- Aqiimush shufuuf, wahadzuu baina manaakibi wasuddul kholal waliinuu biaidii ikhwaanikum ‘Luruskan shaf, ratakan bahu-bahu kalian, tutupi celah dan bersikap lunaklah terhadap tangan tangan saudara kalian (mudah diatur untuk meluruskan dan merapatkan shaf)‘. (Rowahu Abu Daud)
Atau kalimat lain yang serupa.
Nah, apa gerangan yang terjadi? Beberapa imam sekarang tidak hanya memilih satu diantaranya, tetapi kebanyakan membaca lebih dari satu pilihan-pilihan kalimat di atas. Ada kesan seolah kurang mantap kalau tidak membaca semuanya. Padahal, sudah jelas diterangkan bahwa itu pilihan-pilihannnya. Artinya pilih salah satu (atau dualah paling banyak), jangan diborong semua. Mau dikatakan lebai (pamer kalau sudah hafal), nanti jatuh dalam su’udhon, tetapi kalau tidak, sebagai makmum saya sering bertanya-tanya; apa maksudnya. Sebab ada yang kurang pas dari penjiwaan kalimat ini.
Harusnya ketika imam maju dan mengucapkan kalimat di atas, seyogyanya dibarengi dengan tindakan nyata meluruskan barisan. Jangan hanya berucap, tetapi tidak dibarengi dengan inspeksi barisan. Terutama shof awal. Apakah lajur shof awal sudah penuh terisi? Jangan sampai ada yang lowong. Apakah shaf pertama sudah rapat? Jangan sampai ada yang renggang. Dan apakah shaf pertama sudah lurus? Jangan sampai mengular. Jangan sampai pengucapan kalimat itu hanya basa-basi. Mau lurus atau nggak shafnya, yang penting sudah istawuu. Bukan begitu maksudnya. Kalimat itu merupakan warning system, baik bagi imam dan makmumnya. Imam mengingatkan dan mengecek shafnya, sedang makmum merapatkan dan meluruskan barisannya. Pundak menempel pada pundak, dan telapak kaki dengan telapak kaki: qidam biqidam, mankib bimankib. Seorang imam kalau perlu berbalik menghadap makmum sambil menunjuk-nunjuk atau menepuk pundak agar barisan diluruskan. Jadi tidak ada sela-sela yang longgar dan kosong, terutama untuk shaf pertama.
Anas bin Malik berkata:”Dulu, salah seorang di antara kami menempelkan bahunya dengan bahu teman di sampingnya serta kakinya dengan kaki temannya.” (Rowahu Bukhary)
Nu’man bin Basyir -radhiallahu Ta’ala ‘anhu-, beliau menuturkan realita yang terjadi di zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, “Aku melihat seorang laki-laki menempelkan bahunya dengan bahu temannya, lututnya dengan lutut temannya, dan mata kakinya dengan mata kaki temannya“. (Rowahu Bukhary)
Nah, dua hadist di atas ini adalah complement dari bacaan istawunya seorang imam. Jika makmum belum faham dengan maksud kalimat istawu, tentunya tugas imam untuk turun dengan gerakan untuk meluruskan barisan. Jadi tidak hanya berpacu dalam melodi istawu dengan berbagai modelnya, karena yang lebih penting adalah hasil akhir berupa lurusnya barisan sholat itu.
He, he, he,,,, itulah perspektif orang yang jarang jadi imam sholat. Emang suka nglantur, kenapa sih gak satu saja, tapi diulang-ulang? Biar mantap. Mudah-mudahan yang jadi imam sholat sudah mempraktekan dengan benar amalan di atas sesuai atsar yang ada. Ini hanya sebuah ironi dari seorang hamba, yang kebetulan menjumpainya. Sekali lagi mohon maaf jika ternyata salah.
Penulis: Faizunal Kusmono Abdillah
Ada beberapa imam sholat yg merubah bacaan tersebut ( tidak sesuai haditsnya ) yaitu … fa-inna taswiyatas-shufufi … , padahal asli haditsnya … fa-inna taswiyats-shof-fi …
Hadits ada banyak bang bukan merubah memang ada yg shufuufi
Betul, imam wajib memperhatikan kondisi makmumnya sebagaimana komandan memperhatikan pasukannya.