Akhir Januari 2015, saya menyempatkan mudik ke kampung halaman. Tak lain untuk memastikan kabar kedua orang tua saya yang dirundung masalah kesehatan karena usia.  Sesuai dengan pesan para sesepuh dan tetua tentang birrul-walidain, maka kesempatan langka itu saya pergunakan sebaik-baiknya. Bahkan (saya sendiri juga heran) bisa seharian penuh saya menemani keduanya. Tidak melakukan apa-apa. Hanya duduk, berhadapan dan ngobrol santai apa saja. Sesekali diselingi gelak tawa. Padahal rasa kantuk menyerang begitu hebatnya. Namun semua bias kutahan dan berhasil sampai akhirnya. Alhamdulillah, ada kepuasan luar biasa. Dan saya pun melihat wajah ceria dari kedua orang tua saya.
Sesampai di Jakarta, dalam suatu perjalan dari Simatupang ke Sudirman, seorang sahabat berbagi sebuah cerita. Tiba-tiba saja saya menjadi tertarik dengan cerita itu. Di dalam benak saya terngiang kembali keluhan Bapak saya akan kematian dan problematikanya. Bahkan beliau sampai meminta untuk diajari ilmu-ilmu itu: kematian, pertanyaan kubur, siksa kubur dan cara beserta doa menghadapinya. Dan cerita sahabat ini sungguh sangat menginspirasi. Walau itu hanya sekedar cerita, tetapi saya pun berminat menjadikannya sebagai pembelajaran yang sangat berharga.

Dikisahkan, ada Seorang Kiai yang mengajarkan aqidah kepada murid-muridnya. Dia mengajarkan dan menjelaskan kepada mereka sari pati ilmu yaitu kalimat;┬á┬á”Laa ilaaha illallaahÔÇØ beserta maknanya. Selain itu Pak Kiai ini juga mendidik mereka dengan keteladanan Rasulullah SAW. Dan tak lupa dalam pengajarannya, beliau berusaha menanamkannya ke dalam jiwa murid-muridnya.
Di samping kegiatan mengajarnya, ternyata Pak Kiai mempunyai hobi lain yaitu memelihara burung dan kucing. Kondisi itu membuat salah seorang muridnya berinisiatif menghadiahkan padanya seekor burung kakatua. Dasar hobi, makin hari Pak Kiai semakin senang dengan burung itu dan sering membawanya pada saat mengajar murid-muridnya. Dengan naluri alamiahdan kemampuannya, karena sering mendengar kakatua itu belajar mengucapkan kalimat tauhid:┬á”Laa ilaaha illallaahÔÇØ. Burung kakatua itupun akhirnya bisa mengucapkan Laa ilaaha illallaah siang-malam dengan fasihnya.
Suatu hari, ada pemandangan yang tidak biasa. Murid-murid mendapati Pak Kiai tengah menangis tersedu. Ketika ditanya, kenapa beliau menangis, dengan terbata-bata dan kalimat yang singkat dia berkata; ÔÇØKucing telah menerkam kakatua dan membunuhnya.ÔÇØ
Jawaban singkat itu, membuat para murid saling berpandangan dengan mimic keheranan dan penuh tanda tanya. Salah seorang dari mereka berdiri mewakili dan berkomentar; ÔÇ£Hanya karena inikah engkau menangis?┬áKalau anda menginginkan kami bisa datangkan burung lain. Bahkan burung yang jauh lebih baik.ÔÇØ
Pak Kiai berkata: ÔÇ£Bukan karena itu aku menangis, tetapi.(sambil menghela nafas panjang), yang membuat aku menangis adalah, ketika diserang kucing, burung itu hanya berteriak-teriak saja sampai matinya. Padahal dia sering sekali mengucapkan kalimat┬á”laa ilaaha illallaah┬á” .Tetapi mengapa ketika diterkam kucing ia lupa kalimat itu. Tidak mengucapkan apapun, kecuali hanya teriakan makian dan rintihan. Saya jadi tahu, bahwa selama ini, ia hanya mengucapkan┬á”laa ilaaha illallah”┬ádengan lisannya saja. Sementara hatinya tidak memahami dan tidak menghayatinya.ÔÇØ
Pak Kiai melanjutkan petuahnya; ÔÇ£Aku khawatir kalau nanti kita seperti kakatua itu. Saat kita hidup mengulang-ulang kalimat┬á”laa ilaaha illallaah┬á “dengan lisan kita, tapi ketika maut datang kita pun lupa. Tidak bisa mengingatnya, karena hati dan jiwa kita belum memahami dan menghayatinya. Lahir dan batin.ÔÇØ┬á Mendengarkan penjelasan Pak Kiai itu, para murid pun akhirnya terdiam, tersadar dan menangis pula, khawatir tidak jujur terhadap kalimat tauhid ini. Dan kita sendiri, apakah kita telah menanamkan kalimat┬á”laa ilaaha illallaah┬á “ini ke dalam hati sanubari kita dengan sebenar-benarnya?
Sebelum terlanjur jauh, mungkin ada yang membantah moral cerita di atas denggan firman Allah di dalam Kitabnya. Allah berfirman;┬áÔÇ£Allah menetapkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang tetap itu, di dalam kehidupan dunia maupun akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan berbuat apa yang Dia kehendaki.ÔÇØ┬á(QS Ibrahim:27)
Memang benar, bahwa ada jaminan dari Allah jika keimanan kita benar, maka segala permasalahan akhir kehidupan kita akan mulus dan tidak akan sampai seperti burung kakatua tersebut. Dengan beriman yang benar dan keimanan yang benar hidup kita dijamin oleh Allah akan baik di dunia maupun akhirat. Permasalahannya adalah hanya kita sendiri dan Allah yang tahu seperti apa kadar keimanan kita. Orang lain hanya tahu lahiriahnya saja. Bahkan malaikat pun tertipu. Beberapa tahun yang lalu saya mendapati, orang yang tampaknya sholeh, tinggalnya di sebelah masjid, setiap ngaji tak pernah ketinggalan, ternyata di akhir hayatnya setelah dicoba sakit yang sedemikian rupa, tak disangka ditemukan mati pada seutas tali.
Mungkin juga ada yang langsung mengambil dengan baik moral cerita di atas dengan perbaikan diri, tidak hanya dalam kalimat thayyibah Laa ilaaha illallaah saja, tetapi menyeluruh dalam setiap beramal. Itu sangat berguna. Selalu dengan niat mukhlish lillah karena Allah dan totalitasnya; lahir batin. Lain tidak. Hal ini didasari bahwa Iblis dan bala tentaranya selalu mengintai setiap kesempatan untuk mengajak dan menjerumuskan setiap anak Adam ke dalam neraka. Bahkan ketika ajal datang menjemput. Allah berfirman;ÔÇØKemudian saya (Iblis) akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).ÔÇØ┬á(QS Al-AÔÇÖraaf:17)
Apapun pilihan kita semua ada konsekuensinya. Oleh karena itu perlu direnungkan bahwa tidak ada sesuatupun yang naik ke langit yang lebih agung dibanding keikhlasan. Dan tidak ada sesuatupun yang turun ke bumi yang lebih agung dari taufiq dan hidayah Allah.  Dan sesuai kadar keikhlasan itulah, taufiq Allah kita dapatkan. Selamat merenung.
Penulis: Faizunal Abdillah