Oleh Hidayat Nahwi Rasul, Ketua DPP LDII dan Presiden Keluarga Hijau Indonesia
Bung Karno, Hatta, dan Syahrir mencita-citakan Indonesia yang lahir setelah proklamasi kemerdekaan, adalah sebuah negara kesejahteraan. Dalam impian mereka, kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan yang dinikmati rakyat bukan dari hasil penghisapan antara satu manusia dengan manusia lainnya sebagaimana kapitalisme, atau kaku terpusat sebagaimana negeri penghayat Marxisme.
Mereka menginginkan negara kesejahteraan yang nanti lahir, adalah negara yang berperan aktif sebagai ÔÇ£kawanÔÇØ bagi rakyat. Cita-cita mereka dimaktubkan dalam pembukaan UUD 1945 .”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat…
Tujuan kita bernegara dan alasan bernegara sangat jelas tertera dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Intinya, negara harus mampu melindungi segenap bangsa Indonesia, mencerdaskan dan menyejahterakan bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
Aktor Negara
Aktor negara adalah pemerintah (eksekutif), DPR (legislatif), dan penegak hukum (yudikatif) atau biasa disebut Trias Politika. Tiga aktor dalam negara inilah yang mengatur hajat hidup bangsa ini dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Pemerintah menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, transparan, akuntabel, kemudian DPR di tingkat pusat dan daerah melaksanakan fungsinya untuk membuat undang-undang, merencanakan, dan membuat anggaran untuk pemerintah, serta melakukan kontrol atas kinerja pemerintah. Adapun aktor yudikatif adalah pejabat-pejabat yang di tangan merekalah hukum dan keadilan ditegakkan di republik ini.
Kalau semua aparat, politisi, dan penegak hukum berpikiran dan bertindak sesuai fungsinya mewujudkan dan mengedepankan tujuaan, serta alasan kita bernegara yang di atas, berarti kita telah merawat negara tercinta ini. Namun kalau aparat justru menjauhi capaian dan harapan tersebut, sesungguhnya kita telah mencederai kehidupan bernegara bahkan mengaburkan tujuan dan alasan kita bernegara.
Momentum melahirkan negarawan
Pemilu legislatif dan presiden 2014 menjadi momentum memilih dan melahirkan negarawan. Pemilu bukan hanya untuk mencoblos partai dan orang, akan tetapi adalah waktunya rakyat mengevaluasi, mempertimbangkan dengan matang, menyeleksi untuk menjatuhkan pilihan yang tepat kepada orang dan partai yang akan dicoblos nantinya.
Rakyat harus mengenal dengan baik rekam jejak orang dan partai yang dipilih, sebaliknya tentu juga wakil rakyat yang dipilih tersebut mengenal dengan baik konstituennya. Dengan demikian DPR/DPRD benar benar menjadi wakil rakyat, dan akan mendahulukan dan memperjuangkan kepentingan rakyat. inilah yang disebut kedaulatan rakyat. Tentu rakyat tidak dengan mudah dapat mengenal wakilnya, dan partai politik yang akan dipilihnya. Oleh karena itu peran partai politik, media massa, dan penyelenggara Pemilu sangat penting dan strategis untuk mendidik masyarakat agar hak pilih mereka tidak sia-sia.
Pertama, partai politik harus mampu merekrut orang-orang yang kapabel, berkualitas, dan memiliki integritas baik kepada dirinya, partai, dan bangsanya. Parpol seyogyanya menawarkan kursi legislator dan eksekutif kepada calon legislator dan calon presiden, yang memiliki komitmen memakmurkan dan mencerdaskan rakyat. Dengan demikian tugas Parpol bukan hanya merebut kekuasaan akan tetapi menyiapkan calon-calon negarawan yang integritas dan moralitasnya teruji.
Kedua, media massa sebagai pewarta demokrasi dalam pelaksanaan Pemilu mempunyai kewajiban melakukan pendidikan politik yang imparsial (tidak memihak) pada sebuah kelompok. Netralitas media sangat penting untuk mendorong lahirnya demokrasi yang berkualitas. Melalui media massa, rakyat dengan mudah mengenal dan mengetahui rekam jejak partai politik dan politisi-politisi yang berlaga dalam Pemilu. Media massa kemudian menjadi penuntun menuju demokrasi yang berkualitas, yang kita yakini sebagai alat untuk mewujudkan cita-cita sebagai bangsa.
Ketiga, penyelenggara Pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tingkat provinsi, maupun di kabupaten/kota(KPUD) sampai ke tingkat Panitia Pemungutan Suara (PPS) di Tempat Pemungutan Suara (TPS), juga Panitia Pengawas Pemilu (PANWASLU), Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) di pusat dan di tingkat provinsi kota kabupaten, harus mampu bertindak sebagai wasit yang tegas, jujur, dan adil. Bagi penyelenggara Pemilu menggelar Pemilu yang Jujur dan Adil (Jurdil), berintegritas dan transparan adalah tidak mudah. Oleh karena begitu banyaknya wajib pilih dan jumlah TPS di seluruh Indonesia dengan jumlah pemilih 147.105.259 dan jumlah TPS 581.393.
Dengan load data seperti itu, seharusnya Teknologi Informasi (TI) menjadi yang utama, bukannya sebagai pelengkap saja. Apalagi Undang-undang Pemilu masih menganggap data rekap manual itulah yang sah. Di sinilah rawannya permainan jual beli suara dan penggelembungan suara dalam ranah KPU. hal tersebut lalu kemudian menimbulkan distrust pada penyelenggara pemilu, selama pengumpulan data dilakukan secara manual.
Demokrasi Keterwakilan dan Keterpilihan
Carut marut kehidupan demokrasi yang kemudian melahirkan banyaknya aktor negara yang tertangkap korupsi, antara lain disebabkan begitu mahalnya ongkos demokrasi yang harus dikeluarkan untuk menjadi aktor negara.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa budaya sogok menyogok, jual beli suara, transaksional, wani piro adalah praktek jahat dalam berdemokrasi. Reformasi yang dikumandangkan pada 1988 hanya melahirkan oligarki politik dan liberalisasi politik. Agenda reformasi mulai dari menyejahterakan masyarakat demokratisasi dan penegakan hukum, justru pada usia 15 tahun reformasi (3 kali Pemilu) demokrasi menemui titik nadir, yaitu besarnya kesenjangan ekonomi, munculnya oligarki politik, politik dinasti, lunturnya ideologi dalam berpartai, dan skala kejahatan korupsi meningkat dan masif oleh aktor aktor negara.
Bangsa Indonesia telah melakukan kekeliruan paradigmatis dalam menerapkan format demokrasi. Bangsa ini telah meninggalkan konstitusi yang seharusnya menggunakan demokrasi keterwakilan, sebagaimana yang tertera dalam sila ke-4 Pancasila. Dalam praktiknya bangsa Indonesia lebih memilih menggunakan demokrasi keterpilihan. Dengan format demokrasi keterpilihan, akhirnya sebagian besar aktor negara berlomba menggunakan semua cara, terutama dengan cara politik uang (money politics) untuk memenangkan proses seleksi demokrasi yang menentukan arah dan peradaban bangsa ini ke depan.
Makin berkualitas demokrasi kita, berarti negara makin terawat yang berimplikasi pada kesejahteraan, kecerdasan, kenyamanan, dan keamanan bangsa. Namun bila demokrasi yang dipraktikkan semakin tidak berkualitas, saya khawatir bukan saja tujuan bernegara tidak tercapai, malahan alasan bangsa ini bernegara pun semakin kabur. Dengan kata lain NKRI menjadi taruhan dalam penyelenggaraan demokrasi.
Bisakah Pemilu kali ini melahirkan negarawan? Konon, hanya negarawanlah yang bisa merawat negara. Meskipun begitu, rakyat pun bisa bertindak dan melahirkan negarawan, caranya : memilih cerdas dan tidak “wani piro“! (Foto: gresnews.com)