Jakarta – Menyongsong hadirnya tahun 2014 jurnalisme diharapkan dapat menciptakan atmosfer positif. Media diharapkan tidak memberikan pemberitaan yang mengacu pada konflik, sehingga masyarakat dapat terbawa pada suasana negatif.
Terlebih dalam mencegah berbagai isu panas menjelang pemilu 2014, salah satunya terorisme. Demikian pesan yang dibawa pada perhelatan Refleksi Akhir Tahun 2013 dan Workshop Nasional kerjasama Forum Pengembangan Pewarta Profesional Indonesia (FP3I) dengan Kementrian Agama.
Saat ini banyak pemberitaan yang mengarahkan opini masyarakat pada realitas buatan, banyak berita pesanan. Maka masyarakat harus diarahkan untuk mengikuti proses edukasi dari mobilitatif menjadi partisipatif, rule the game untuk kepentingan bersama. “Masyarakat harus pintar, dan pemangku kepentingan wajib mengarahkan masyarakat untuk aktif berpartisipasi,” ungkap Alfian Tandjung, pembicara dari Taruna Muslim Nusantara.
Selanjutnya, isu terorisme sering dikaitkan dengan ajaran Islam. Pasca penyerangan terhadap gedung World Trade Center (WTC) pada 9 November 2001, Amerika Serikat mendeklarasikan perang terhadap teroris. Buruknya, perang hanya ditujukan kepada kelompol Alqaida yang dipimpin Usamah bin Ladin. Pada akhirnya banyak negara Islam menjadi korban, seperti Afghanistan dan Irak yang dituding membantu terorisme.
Amerika Serikat mampu mengontrol isu terorisme, sehingga berbagai pemberitaan media massa di seluruh penjuru dunia sepakat dengan definisi terorisme dan tindakan Amerika. Maka keterlibatan media dalam menyebarkan informasi, memberikan gagasan, melakukan amplifikasi dari ideologi dominan, memegang peranan penting bagi tersebarnya doktrin perang melawan teroris. Belum lagi apa yang terjadi pada pengeboman hotel JW Mariot dan Riltz Carlton, kejadian dari Kelompok Abu Sayyaf dan Pejuang Moro hingga Bom Bali.
Berbagai pemberitaan mengenai serangan AS kepada dunia Islam, pada akhirnya justru menciptakan radikalisasi. Pencegahannya, media massa harus melakukan pendidikan karakter terhadap publik, untuk menciptakan insan yang dapat menyaring dan berkontribusi baik bagi negara.
“Pendidikan karakter adalah jawaban atas berbagai permasalahan bangsa. Isu terorisme, pemilu, korupsi semua berawal dari karakter negatif pelaku itu sendiri,” kata Anni Iwasaki dari Pusat Studi Jepang Untuk Kemajuan Indonesia. Ani mengusulkan siapapun presiden RI, perhatian terhadap pendidikan karakter.
Ketua DPP LDII Chriswanto Santoso berpendapat sama. Menurutnya, pendidikan karakter melalui televisi, dakwah, dan berbagai wahana lainnya, mampu mencegah timbulnya radikalisasi umat Islam. Menurut Chriswanto, LDII telah lama fokus dalam membangun karakter bangsa, dengan cara melakukan kerjasama dengan ormas Islam, termasuk MUI.
“Dengan NU, kami sepakat melakukan dakwah yang bertujuan untuk menderadikalisasi umat. Kami memanfaatkan juru dakwah kami membangun karakter bangsa,” ujar Chriswanto. LDII bekerjasama dengan NU, MUI, dan Universitas Islam Negeri di berbagai kota untuk melakukan pelatihan dakwah, yang mengedepankan nilai-nilai Islam yang menguatkan Pancasila, semisal toleransi, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, cinta tanah air, bela negara, hingga gotong royong.
Juru dakwah LDII ini lantas disebar di seluruh pelosok tanah air, termasuk di daerah-daerah yang masyarakatnya rawan mengalami radikalisasi.
(Fredy/LINES)