Tiba-tiba saja, saya disodori nomer penitipan sepatu oleh petugas masjid setelah sekian lama tidak. Ketika mencoba saya tolak, petugas bersikeras dengan SOP-nya; sekarang semua sepatu harus dititipkan. Teman di samping menyenggol saya dan berkata, “Kemarin, ada lagi yang kehilangan sepatu.” Pantes. Saya pun mafhum, dan mengikuti aturannya. Padahal, jika tidak dititip pun, sepatu saya Insya Allah – tidak akan hilang diambil orang. Sebab yang hilang biasanya yang bermerek dan mahal. Buktinya, seorang teman yang kehilangan sepatu beberapa waktu yang lalu, bercerita bahwa sepatunya yang hilang harganya 1,8 juta. Dan belinya dari luar sana.
Sudah menjadi rahasia umum, pencurian di tempat ibadah, khususnya masjid. Dari dulu ya seperti itu. Perlu kewaspadaan tersendiri dan perhatian khusus. Bahkan petuah para ustadz pun diplesetkan: “Ambil yang baik, buang yang buruk”. Datang membawa sendal atau sepatu butut, pulang berganti yang bagus dan bermerek. Tak usah memikirkan akibatnya. Apalagi kalau lagi gelap mata. Karena orang yang tergoda syaitan bisa terjadi kapan saja. Namun demikian, setidaknya plesetan itu bisa jadi nasehat hiburan bagi yang kehilangan. Artinya itu benar-benar diamalkan (?)
Nah, bagi kita yang melihat dan mendengar, jadikanlah itu sebagai pembelajaran. Jangan lewatkan sedetik pun kejadian yang mampir di depan kita sebagai hikmah. Selain berdoa tentunya, agar hal itu tidak menimpa pada diri kita. Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). (QS. Al-Baqarah; 269)
Dahulu kala, di kota Baghdad ada seorang laki-laki bernama Abu Qosim. Ia memiliki sepatu yang telah dipakainya selama tujuh tahun, apabila ada bagian dari sepatunya yang robek atau putus, ia menambalnya sehingga menjadikan sepatu tersebut sangat berat. Pada suatu hari, Abu Qosim pergi ke tempat pemandian umum untuk mandi. Di antara teman-temannya ada yang berkomentar:”Wahai Abu Qosim, kenapa tidak kau ganti saja sepatumu ini, kaukan orang yang berharta”. Abu Qosim menjawab:”Benar kamu, aku akan membeli sepatu baru, dengan izin Allah.”
Ketika ia keluar dari kamar mandi, setelah berpakaian lengkap, ia melihat di samping sepatu bututnya ada sepatu lain yang masih baru. Ia pun menduga-duga bahwa salah seorang teman dekatnya telah membelikan sepatu itu untuknya. Sepatu baru itupun dipakainya lalu ia pulang ke rumah.
Sepatu baru tersebut adalah milik Hakim yang pada hari itu juga datang di kamar mandi, ia melepaskan sepatunya dan mandi di kamar mandi itu. Ketika sang Hakim keluar, ia mencari-cari sepatu dan tidak menemukannya. Ia lalu berkata: “Mesti orang yang memakai sepatuku adalah orang yang meninggalkan sepatunya di sini.” Lalu orang-orang melakukan penyelidikan dan hanya mendapatkan sepatu Abu Qosim yang telah mereka ketahui. Kemudian Hakim menyuruh pembantunya ke rumah Abu Qasim dan mereka pun mendapati sepatu tersebut di sana. Pembantu Hakim itu lalu membawa Abu Qosim di hadapan Hakim. Hakim memukul Abu Qosim sebagai pelajaran, lalu dimasukkan ke penjara dalam beberapa waktu lamanya serta dijatuhi denda. Setelah beberapa masa, akhirnya ia keluar dari tahanan.
Selepas Abu Qasim dari tahanan, lalu ia mengambil sepatunya dengan rasa marah. Ia berjalan menuju sungai lalu melemparkan sepatunya ke dalam air dan tenggelam. Salah seorang nelayan datang dan melemparkan jaringnya, dan sepatu tampak di jaring tersebut. Setelah mengamati sepatu tersebut, sang nelayan mengenalinya bahwa sepatu itu adalah milik Abu Qosim yang diduga terjatuh di sungai. Nelayan tersebut kemudian mengantar sepatu itu ke rumah Abu Qosim, tetapi tidak bertemu dengannya. Ia melihat jendela terbuka lalu melemparkan sepatu tersebut melalui jendela dan mengenai almari kaca hingga pecah. Abu Qosim datang, melihat kejadian itu. Ia memukuli wajahnya seraya menangis dan mencaci-maki sepatu tersebut.
Pada suatu malam, Abu Qosim menggali tanah untuk mengubur sepatunya. Para tetangga mendengar suara galian tersebut dan mereka menduga ada seseorang yang hendak merobohkan rumah mereka. Mereka lalu mengadukan kejadian tersebut kepada Hakim. Sang Hakim mengutus seseorang untuk mendatangi Abu Qosim dan berkata kepadanya: “Mengapa Anda berusaha merobohkan tembok tetangga Anda?” Lalu ia ditahan dan akan dilepaskan, hanya jika ia menebus dengan sebagian hartanya.
Abu Qosim naik ke atap rumahnya, lalu meletakkan sepatunya di sana hingga jauh dari pandangan manusia. Tindakan tersebut dilihat oleh seekor anjing, lalu anjing tersebut menggondolnya menuju atap yang lain, dan sepatu itu jatuh dan mengenai kepala seseorang hingga luka parah. Orang-orang melihat dan menyelidiki siapa pemilik sepatu tersebut, dan mereka kenali bahwa sepatu itu adalah milik Abu Qosim. Akhirnya mereka adukan kejadian tersebut kepada Hakim. Maka diputuskan agar ia menyerahkan sejumlah harta untuk korban luka-luka dan agar bertanggung jawab selama si korban sakit. Habislah ketika itu seluruh hartanya, tidak tersisa baginya sedikitpun.
Akhirnya, Abu Qosim menmgambil sepatunya dan pergi menghadap Hakim. Ia berkata kepada Hakim:”Aku ingin, wahai Tuan Hakim, Anda tuliskan bahwa antara aku dan sepatu ini tidak ada lagi ikatan hukum, bahwa tidak ada lagi hubunganku dengannya. Dan masing-masing di antara kami tidak ada hubungan saling memiliki satu sama lain. Dan sewaktu-waktu sepatu ini melakukan tindakan, aku tidak ada perhitungan lagi dengannya.” Hakim tertawa mendengarnya, dan melakukan apa yang dikehendaki Abu Qosim.
Jangan sampai, kita identik dengan harta benda kita. Mungkin cerita berikut ini lebih menarik dan menantang adrenalin kita. Seorang bapak tua pada suatu hari hendak bepergian naik bus kota. Saat menginjakkan kakinya ke tangga, salah satu sepatunya terlepas dan jatuh ke jalan. Sayang, pintu tertutup dan bus segera berlari cepat. Bus ini hanya akan berhenti di halte berikutnya yang jaraknya cukup jauh, sehingga ia tak dapat memungut sepatu yang terlepas tadi. Melihat kenyataan itu, si bapak tua itu dengan tenang melepas sepatunya yang sebelah dan melemparkannya ke luar jendela.
Seorang pemuda yang duduk dalam bus tercengang, dan bertanya pada si bapak tua, ”Mengapa bapak melemparkan sepatu bapak yang sebelah juga?” Bapak tua itu menjawab dengan tenang, ”Supaya siapa pun yang menemukan sepatuku bisa memanfaatkannya.”
Berbeda dengan cerita Abu Qosim di atas, Bapak tua dalam cerita tersebut adalah contoh yang berbeda. Ia orang yang bebas dan merdeka. Ia berhasil melepaskan keterikatannya pada benda. Ia berbeda dengan kebanyakan orang yang mempertahankan sesuatu semata-mata karena ingin memilikinya, atau karena tidak ingin orang lain memilikinya. Sikap mempertahankan sesuatu — termasuk mempertahankan apa yang sudah tak bermanfaat lagi — adalah akar dari ketamakan. Penyebab tamak adalah kecintaan yang berlebihan pada harta benda. Kecintaan ini melahirkan keterikatan. Kalau sudah terikat dengan sesuatu, Anda akan mengidentifikasikan diri Anda dengan sesuatu itu. Anda bahkan dapat menyamakan kebahagiaan Anda dengan memiliki benda tersebut. Kalau demikian, Anda pasti sulit memberikan apapun yang Anda miliki karena hal itu bisa berarti kehilangan sebagian kebahagiaan Anda.
Kalau kita pikirkan lebih dalam lagi ketamakan sebenarnya berasal dari pikiran dan paradigma kita yang salah terhadap harta benda. Kita sering menganggap harta kita sebagai milik kita. Pikiran ini salah. Harta kita bukanlah milik kita. Ia hanyalah titipan dan amanah yang suatu ketika harus dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban kita adalah sejauh mana kita bisa menjaga dan memanfaatkannya. Sebagai penutup mari kita renungkan ayat berikut: “Dan carilah pada apa yang telah Allah karuniakan kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashash: 77)
Dan berkaca dari kejadian sepatu ini, mungkin Anda perlu menyimak Sepatu ÔÇôTulus, diantaranya begini liriknya.
Kita adalah sepasang sepatu
Selalu bersama tak bisa bersatu
Kita mati bagai tak berjiwa
Bergerak karena kaki manusia
….
Penulis: Faizunal Abdillah