Bagi anak saya yang ketiga, puasa adalah hal yang membencikan. Kenapa sih berlapar dan dahaga, padahal makanan-minuman banyak? Buat apa sih menyiksa diri? Wong bisa makan kok, pilih kelaparan. Dan lain-lain pemikiran jelek mengenai puasa, seandainya dia bisa mengungkapkannya. Berhubung gak berani dan gak tahu cara mengungkapkannya, responnya hanya marah, marah dan marah. Semisal walau tak sama, pemikiran seperti itu tidak hanya di alam pikiran seorang bocah. Banyak di antara manusia terjebak dengan pola seperti itu. Bisa jadi salah satunya adalah pikiran kita sendiri.
Tengoklah cerita tokoh Sufi Nasrudin Khoja yang inspiratif berikut ini. Suatu kali Nasrudin mengadu kepada Allah tentang istrinya yang cantik: “Ya Allah, kenapa saya dikasih istri cantik?” Dengan lembut Yang Ditanya menjawab; “Karena cantiklah kamu pilih dia!” Belum puas dengan kondisi itu, lagi-lagi Nasrudin bergumam: “Sudah cantik, baik lagi!” Ini juga dijawab sama: “Itu sebabnya kamu pilih dia,” Merasa pertanyaannya dijawab terus, lelaki baik hati ini setengah berbisik agar tidak didengar orang lain: “Tetapi kenapa istri saya goblok sekali?” Ini pun dijawab dengan lembut: “Karena gobloklah dia pilih kamu, bila ia pintar akan pilih orang lain!”
Nah, melalui jembatan pemahaman layaknya cerita di atas, kita bisa tahu bahwa pada umumnya manusia menolak yang gak enak. Yang dibenci. Yang jelek-jelek. Pada dasarnya manusia pengin yang enak-enak terus. Yang sempurna. Gak enak sedikit mengeluh, mengkritik dan menyalahkan. Ada saja unsur diri ini yang mau dibuang. Ada kekurangan sedikit langsung mengubur kelebihan lain yang banyak. Padahal begitulah sejatinya kehidupan. Ada siang, ada malam. Kemana perginya siang, ketika malam datang? Dan kemana perginya malam, ketika siang menjelang? Seiring berjalannya waktu, ternyata mereka bergandengan, hanya bergantian semata, tak terpisahkan.
Terinspirasi dari sini, bagi setiap sahabat yang ingin menggapai kesempurnaan, penting sekali balajar bersahabat dengan diri. Terutama bersahabat dengan kekurangan, kesialan, ketidaksempurnaan. Termasuk musibah, bencana, penderitaan dan kesakitan di dalamnya. Persahabatan ini tidak saja menghentikan pertempuran dengan diri sendiri, ia juga menghentikan rasa sakit yang kita timbulkan pada orang lain. Dalam bahasa seorang kawan : “Tatkala saya berhasil mencintai diri saya secara penuh dan utuh, hidup mekar seperti bunga yang indah.” Dan beruntung di jalan islam kita dikenalkan dengan sebuah jalan yang bernama puasa. Tidak hanya dikenalkan, bahkan diwajibkan.
Pada Surat Al-Baqoroh ayat 184, Allah hanya menghimbau; “Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” Namun di ayat berikutnya 185, Allah mewajibkannya; “Maka, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka supaya ia berpuasa pada bulan itu.”
Sungguh menjadi terbuka mata saya ketika mencermati tingkah anak ketiga saya dalam berpuasa. Dengan kata lain, kita dikenalkan dengan konsep bersahabat dengan yang tidak kita suka dalam hidup ini lewat berpuasa. Lebih dalam lagi, adalah mengenal diri ini seutuhnya, baik dan jelek, senang-susah dan yang lebih penting lagi mencintainya apa adanya. Dan menyemainya. Karena begitulah sebuah karunia dicipta.
Dengan cakrawala seperti ini, maka akan lebih bermakna lagi ketika kita memandang dalil-dalil tentang puasa diluar garis-batas keterangannya. Seperti dalil yang menyatakan larangan bertengkar atau menyakiti orang lain bagi orang yang berpuasa.
“Puasa adalah perisai, jika pada hari dia puasa, maka janganlah berkata keji atau kasar. Jika seseorang mencelanya atau menyerangnya, hendaknya ia berkata: saya sedang puasa.” (HR Bukhari dan Muslim).
Itu artinya tatkala seseorang menyerang orang lain, bagian kehidupan orang lain yang diserang sama dengan bagian dirinya yang paling dibenci. Sejumlah studi mendalam tentang kaum radikal menunjukkan, mereka berasumsi bahwa dirinya akan diserang. Apa yang ada di balik asumsi ini adalah perasaan tidak aman, kegagalan untuk bersahabat dengan diri. Karena curiga akan diserang maka setiap gerak orang lain dilihat secara mencurigakan. Hasilnya mudah ditebak, kehidupan jadi rumput kering yang mudah terbakar. Lihatlah Israel, yang membombardir Gaza. Hanya karena sebuah perasaan takut akan roket Hamaz, yang belum terbukti kebenarannya. Hanya sebuah asumsi kebencian yang tak beralasan. Dan banyak lagi pendalaman yang bisa dilakukan dengan mengeksplorasi dalil-dalil puasa untuk kemajuan spiritualitas kita menuju la’allakum tattaquun yang sebenarnya.
Sebagai penutup, mungkin kita perlu simak lirik lagunya Bimbo berikut ini.
ada anak bertanya pada bapaknya
buat apa berlapar-lapar puasa
ada anak bertanya pada bapaknya
tadarus tarawih apalah gunanyalapar mengajarmu rendah hati selalu
tadarus artinya memahami kitab suci
tarawih mendekatkan diri pada Ilahi
Walau bukan rentetan dalil, tetapi sebagai jawaban sementara kepada bocah-bocah yang imut itu amat berguna. Daripada bingung mencari dan mencari, saya kira itu cukup untuk ukuran mereka. Dan kita yang lebih dewasa, tentu bukan hanya menghafalnya bukan? Yuk, sempurnakan puasa kita.
Penulis: Faizunal ‘Kusmono’ Abdillah