KALAU sudah duduk tadarus, saya bisa berlama-lama lupa diri. Gak mau tahu kerepotan orang rumah, apalagi sekitar. Anak nangis biarin, ada Ibunya. Adik minta mandi, biarin ada kakaknya. Istri repot masak biarin, ada yang bantunya. Inginnya bercakap-cakap terus dengan Yang Menurunkan Kitab. Tapi tidak bisa begitu, itu selfie namanya. Begitu kata hati saya dan menyudahi kegiatan itu untuk segera turun membantu suasana. Nuansa runyam pun terhindar karenanya.
Inilah produk baru budaya modern kesejagadan. Pada tahun 2013, kata selfie secara resmi tercantum dalam Oxford English Dictionary versi daring, dan bulan November 2013, Oxford Dictionary menobatkan kata ini sebagai Word of the Year tahun 2013, menyatakan bahwa kata ini berasal dari Australia. Hebat ya! Sebelum ini, kita juga telah mengenal istilah narsis, yang kurang lebih sama maknanya. Bahkan narsis muncul sangat jauh sebelumnya yaitu dari zaman Yunani. Sebuah mitologi yang menceritakan seorang anak dewa yang jatuh cinta dengan bayangannya sendiri. Dasar Narsis!
Kembali ke selfie, dalam releasenya Oxford dictionary mendefinisikannya sbb : ÔÇ£A photograph that one has taken of oneself, typically one taken with a smartphone or webcam and uploaded to a social media website: occasional selfies are acceptable, but posting a new picture of yourself every day isnÔÇÖt necessary.ÔÇØ
Kurang lebih kalau diterjemahkan begini: ÔÇ£Sebuah foto yang diambil sendiri, biasanya diambil dengan smartphone atau webcam dan upload ke situs media sosial: ‘selfies sesekali dapat diterima, tapi posting gambar baru dari diri anda setiap hari tidak perlu‘.
Yang menarik justru catatan yang tertulis italic di atas. Nah, kalau kita perhatikan lebih jauh, karena ini menyangkut budaya dan itu adalah produk dari anak manusia, kita bisa menarik pelajaran darinya. Apa itu? Bahwa setiap manusia, dari Mbah Adam sampai nanti anak cucunya di akhir zaman, dikaruniai (baca mempunyai) sifat bawaan yaitu individualistis bin egois. Umumnya, banyak orang yang terkalahkan oleh sifat ini. Sifat egonya tinggi, sehingga menghasilkan buah tindakan yang merugikan baik diri sendiri maupun orang lain dan alam sekitar. Bahkan nanti di hari qiyamat, masih banyak orang yang mengandalkan sifat ini untuk menebus siksa neraka.
Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak, dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (yang berterbangan), dan tidak ada seorang teman akrabpun menanyakan temannya, sedang mereka saling memandang. Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari azab hari itu dengan anak-anaknya, dan isterinya dan saudaranya, dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia). Dan orang-orang di atas bumi seluruhnya kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya. Sekali-kali tidak dapat, sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergolak, yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama), serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya (tidak mengeluarkan infaq dan zakatnya). (QS Al-MaÔÇÖarij 8 -18)
Kami tidak memberikan contoh akibat sifat egoios di dunia karena banyak dan gampang memperolehnya, tetapi lihatlah yang tertulis di dalam firmanNya, sifat egois ini bahkan sampai rela mengorbankan anak, istri, kerabat, keluarganya sampai orang sedunia dengan satu tujuan agar ia selamat dari api neraka. Yang penting gue selamat, terserah lho! NaÔÇÖudzubillah..! Sadis bukan sifat ini.
Karena ini sifat bawaan yang bisa menimbulakan akibat yang dahsyat dan dampak negative yang demikian hebat, maka Allah pun memberi tuntunan bagaimana mengelola sifat ini dengan benar. Gunakan ia di dalam amal kebajikan. Bisa kita simak di Surat Fushshilat 46;
ÔÇ£Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya.ÔÇØ
Walau sudah dalam koridor kebaikan tidak juga boleh membabi buta. Karena kabaikan itu sendiri butuh disebar-luaskan bukan untuk diri sendiri saja. Biar orang lain menjadi baik dan mempunyai tabungan kebaikan. Berkembang dan berbuah. Pay it forward. Nah, untuk belajar selfie lebih lanjut saya menemukannya di bulan puasa ini. Dan rasanya kita perlu mendalami lagi dan menjabarkan dengan baik dan benar dalil-dalil ini.
Dari Abu Hurairah radhiallahuÔÇÖanhu dia berkata, Rasulullah sallallahuÔÇÖalai wa sallam bersabda; “Allah berfirman, ÔÇÿSemua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” (Rowahu Bukhari).
Dari Abu Hurairah radhiallahuÔÇÖanhu dia berkata, Rasulullah sallallahuÔÇÖalai wa sallam bersabda; “Semua amal Bani Adam akan dilipat gandakan kebaikan sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Azza Wa Jallah berfirman, ÔÇÿKecuali puasa, maka ia untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya.” (Rowahu Muslim).
Dari Ibnu Abbas r.a dia berkata: ÔÇ£Nabi SAW adalah lebih dermawannya manusia, dan Nabi lebih dermawan lagi ketika di bulan romadhon, ketika Jibril menemui Nabi. Malaikat Jibril a.s bertemu Nabi di setiap malam bulan romadhon sampai habis. Di saat itu Nabi mendatangkan hafalan alqur’an kepada Malaikat Jibril. Pada saat Malaikat Jibril menemui Nabi itulah saat dimana sifat lebih dermawannya Nabi pada kebaikan seperti angin yang dilepas.” (Rowahu Al-Bukhori Fii Kitab As-Shoum)
Inilah media bagi kita untuk berselfie-ria. Ayo kerjakan puasa dengan sebaik-baiknya karena Allah sendiri yang akan mengganjarnya. Ayo pampang gambar kita di depan Allah sebaik mungkin, sehingga dia benar-benar mencintai kita. Ayo unjuk diri kita dihadapanNya segaya mungkin, dengan amalan-amalan menuju keridhoanNya. Yang banyak, yang ikhlash, yang dawam. Jangan hanya piawai berselfie di dunia maya. Inilah waktunya di bulan yang penuh cinta, bulan puasa. Dan biar tidak keterusan, ingatlah samping kiri dan kanan seperti tuntunan Rasulullah SAW tercinta.
Dari A’isyah r.a dia berkata; ÔÇ£Adalah Nabi ketika memasuki 10 malah terakhir (bulan Romadhon) Nabi mengangkat sarungnya (mempersungguh) dan menghidup-hidupkan (dengan memperbanyak ibadah) di setiap malamnya, dan Nabi membangunkan keluarganya. (Rowahu Al- Bukhori Fii Kitab Fadli Lailatil Qodri)
Oleh: Faizunal ‘Kusmono’ Abdillah