Setelah menempuh perjalanan panjang, bertemulah putra mahkota ini dengan si orang bijak. ”Aku ingin belajar padamu cara memimpin bangsaku,” katanya. Orang bijak menjawab dengan ringan, ”Masuklah engkau ke dalam hutan dan tinggallah di sana selama setahun. Engkau akan belajar mengenai kepemimpinan.”
Setahun berlalu. Kembalilah putra mahkota ini menemui si orang bijak. ”Apa yang sudah kau pelajari?” tanya orang bijak. ”Saya sudah belajar bahwa inti kepemimpinan adalah mendengarkan,” jawabnya. ”Lantas, apa saja yang sudah engkau dengarkan?” ”Saya sudah mendengarkan bagaimana burung-burung berkicau, air mengalir, angin berhembus dan serigala melonglong di malam hari,” jawabnya. ”Kalau hanya itu yang engkau dengarkan, berarti engkau belum memahami arti kepemimpinan. Kembalilah ke hutan dan tinggallah di sana satu tahun lagi,” kata si orang bijak.
Walaupun penuh keheranan, putra mahkota ini kembali mengikuti saran tersebut. Setahun berlalu dan kembalilah ia pada si orang bijak. ”Apa yang sudah kau pelajari?” tanya orang bijak. ”Saya sudah mendengarkan suara matahari memanasi bumi, suara bunga-bunga yang mekar merekah serta suara rumput yang menyerap air. ”Kalau begitu engkau sekarang sudah siap menggantikan ayahmu. Engkau sudah memahami hakekat kepemimpinan,” kata si orang bijak seraya memeluk sang putra mahkota
Suatu siang, Umar bin Khathab berjalan mengelilingi Kota Madinah. Kali ini Umar ditemani salah seorang sahabatnya, Al Jarud Al-Abdi. Mereka berpapasan dengan seorang perempuan tua, lalu ia berkata, ÔÇ£Wahai Umar aku telah mengenalmu sejak namamu dahulu masih Umair (Umar kecil), tatkala engkau berada di pasar Ukazh engkau mengembala kambing dengan tongkatmu. Kemudian berlalulah hari demi hari sehingga engkau memiliki nama Amirul Mukminin, maka bertakwalah kepada Allah perihal rakyatmu, ketahuilah barangsiapa yang takut akan siksa Allah, maka yang jauh akan menjadi dekat dengannya dan barangsiapa yang takut mati, maka dia akan takut kehilangan dan barangsiapa yang yakin akan adanya hisab maka dia takut terhadap Adzab Allah.ÔÇØ Wanita itu mengatakan hal itu sementara Umar Amirul Mukminin berdiri mematung sambil menundukkan kepalanya dan mendengar perkataannya.
Akan tetapi al-Jarud al-Abdi yang menyertai Umar bin Khaththab tidak tahan mengatakan kepada wanita tua itu, ÔÇ£Engkau telah berbicara banyak kepada Amirul Mukminin wahai wanita!ÔÇØ
Umar kemudian menegurnya, Biarkan diatahukah kamu siapakah dia? Beliau adalah Khaulah yang Allah mendengarkan perkataannya dari langit yang ketujuh, maka Umar lebih berhak untuk mendengarkan perkataannya. 
Dalam riwayat lain Umar bin Khaththab berkata, ÔÇ£Demi Allah seandainya beliau tidak menyudahi nasehatnya kepadaku hingga malam hari maka aku tidak akan menyudahinya sehingga beliau selesaikan apa yang dia kehendaki, kecuali jika telah datang waktu shalat, maka aku akan mengerjakan shalat kemudian kembali mendengarkannya sehingga selesai keperluannya.ÔÇØ (Mengenal Shahabiah Nabi SAW., karya Mahmud Mahdi al-Istanbuly dan Musthafa Abu an-Nashar asy-Syalaby, h.242-246)
Banyak nasehat yang ada di sekitar kita, tetapi karena ketidaksadaran kita semua terlihat percuma. Kita lebih banyak sibuk dengan berkata ÔÇô kata, tapi lupa mendengarkan apa yang dikatakan sekitar kita. Mentang ÔÇô mentang yang berkata anak kecil, kita udah apriori; tahu apa dia? Kepada yang belum dikenal sudah ÔÇÖmageriÔÇÖ, paling begitu saja. Kepada yang dikenal, biasanya pasang badan, itu lagi ÔÇô itu lagi. Akhirnya jiwanya sempit. Hidupnya susah. Rupek. Sebab tidak ada ruang lagi untuk masuknya hal baru dari luar. Alias udah menutup pintu hati. Penuh. Akhirnya bebal. Dan keras hatinya. Semua perkataan, nasehat dan hikmah mental. Untuk membuka itu, marilah kembali belajar mendengarkan.
Diriwayatkan dari Abu ad-DardaÔÇÖ bahwa dia berkata, ÔÇØPerlakukan secara adil kedua telingamu dalam kaitannya dengan mulutmu. Ketahuilah bahwa engkau diberi dua telinga dan satu mulut itu artinya, engkau mesti lebih banyak mendengar daripada berbicara.ÔÇØ (Al-Bahr Ar-RaÔÇÖiq hal 68).
Mendengarkan adalah pelajaran yang susah. Buktinya banyak diantara kita yang lebih banyak bicara. Bahkan banyak ngomong ketika ada nasehat. Untuk meredamnya, carilah alasan yang kuat untuk menundukkan mulut kita. Berilah alasan yang kuat kepada jiwa kita, kenapa tidak mau mendengarkan? Padahal Allah saja mau mendengarkan pengaduan hambanya. Padahal Amirul mukminin saja mau mendengarkan nasehat seorang perempuan tua. Tetapi kenapa kita suka ngomong ketika kalam Allah dan hadist Nabi SAW disampaikan…??? Karena mata telah membutakan kita bukan? Maka dari itu, mari sinkronkan mata, telinga dan hati kita. Jangan sampai apa yang tertangkap oleh mata kita menjadi penutup bagi telinga kita. Begitu pun sebaliknya.
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (Surat al-Hajji:46)
Tetapi, mendengarkan dengan telinga sebenarnya baru merupakan tingkat pertama mendengarkan. Seperti yang ditunjukkan dalam cerita di atas, seorang pemimpin bahkan dituntut untuk dapat mendengarkan hal-hal yang tak bisa didengarkan, menangkap hal-hal yang tak dapat ditangkap, serta merasakan hal-hal yang tak dapat dirasakan oleh orang kebanyakan.
Seorang pemimpin perlu mendengarkan dengan mata. Inilah tingkat kedua mendengarkan. Dalam proses komunikasi ada banyak hal yang tidak dikatakan tapi sering ditunjukkan dengan tingkah laku dan bahasa tubuh. Orang mungkin mengatakan tidak keberatan memenuhi permintaan Anda, tapi bahasa tubuhnya menunjukkan hal yang sebaliknya.
Tingkat ketiga adalah mendengarkan dengan hati. Inilah tingkat mendengarkan yang tertinggi. Penyair Kahlil Gibran menggambarkan hal ini dengan mengatakan: ”Adalah baik untuk memberi jika diminta, tetapi jauh lebih baik bila kita memberi tanpa diminta.” Kita memberikan sesuatu kepada orang lain karena penghayatan, rasa empati dan kepekaan kita akan kebutuhan orang lain. Disini orang tak perlu mengatakan atau menunjukkan apapun. Kitalah yang langsung dapat menangkap apa yang menjadi kebutuhannya. Komunikasi berlangsung dari hati ke hati dengan menggunakan ”kecepatan cahaya”.
Mari hidupkan mata hati kita dengan lebih banyak mendengarkan dan mendengarkan. Pasanglah telinga dan bicaralah dengan mata dan hati kita. Niscaya kita bisa menemukan keindahan mendengarkan yang sebenarnya.
Allah berfirman:ÔÇ£Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.ÔÇØ (QS al-Israa;36)
SAPMB AJKH
salam,
fa