Membaca kembali kalam Ilahi, Surat al-Ahqof ayat nomer 15, membuat jiwa ini berkelana menyusuri lorong waktu kenangan nan indah. Terlebih menjumpai kalimat arba’iina sanah yang berarti empat puluh tahun, seperti menelanjangi diri sendiri. Sebab di angka itulah usia tubuh ini berada. Ditambah setiap hari anak saya yang masih di bangku TK menghafal doa pada ayat itu, suaranya yang terbata-bata, terdengar sebagai nasehat yang mengena dan dalam menghantam. Menohok sebuah pemahaman dan penghayatan, kala usia memasuki empat puluhan.
Allah berfirman; “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang tuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, gerakanlah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS Al-Ahqof:15)
Berdasarkan sabda Nabi SAW yang menyatakan bahwa umur umat Muhammad itu antara 60 dan 70 tahun, maka usia 40 tahun adalah lampu kuning. Hidup sudah separoh jalan. Mau apa sekarang, hendaknya manusia segera sadar? Ayat di atas adalah peringatan, sudahkah tergerak hati kita utuk mensyukuri nikmat berlimpah yang telah diberikan Allah kepada kita? Dan menyiapkan anak-cucu kita untuk meneruskan kebaikan itu sampai akhir zaman? Sudahkah kita sadar dengan pilihan itu, mengakui kesalahan atas pilihan salah sebelumnya dengan bertobat dan berserah diri atas hasil pilihan itu? Sungguh tantangan sebenar-benarnya. Bukan hanya menghafal dan melantunkan doa itu semata, tentu akan lebih paripurna dengan tindakan-tindakan di kehidupan nyata sebagai penghiasnya.
Maka terbersitlah nyanyian bambu, sebuah inspirasi kehidupan dari pinggir dusun kampong halaman. Sebuah refleksi, gambaran pencapaian-pencapaian manusia yang selalu menjadi ukuran dan perbandingan. Nyanyian ini dimulai tatkala serumpun bambu di hutan iri dengan nasib sebuah seruling bambu. Suaranya dikagumi oleh banyak orang. Tubuhnya terbaring di tempat yang nyaman. Kesehariannya dimanjakan oleh tangan-tangan halus seniman. Bergumul dengan tokoh-tokoh terkenal. Mendengar itu semua, seruling pun memberikan penjelasan, “Hai bambu dulunya saya juga seperti kalian. Sebelum menjadi seruling, kakiku dipotong parang, badanku dihaluskan dengan pisau tajam, kulitku dihaluskan dengan amplas berulang-ulang. Dan yang paling menyakitkan dadaku dilubangi dengan bor besi panas yang membakar.”
Perjalanan manusia-manusia di peradabannya, kurang lebih sama dengan perjalanan sang seruling. Tidak ada diantara mereka yang berhasil dan sukses, jejak perjalanannya hanya lurus-mulus saja. Tidak ada perjalanan manusia yang bercahaya, bertabur bunga di sekelilingnya. Namun banyak onak dan duri. Sebagai contoh, banyak anak muda yang demikian bersemangat dan bertenaga. Sekolah, kursus, berorganisasi, mencari bea siswa dan segudang aktivitas bertenaga lainnya. Intinya cuma satu, bila orang lain bisa kenapa saya tidak. Keyakinan seperti ini juga yang menyebabkan sejumlah motivator mendorong banyak orang agar cepat kaya-raya. Anthony Robbin sebagai contoh, memberi judul karyanya dengan Awakening The Giant Within.
Membangunkan raksasa yang ada dalam diri. Premis orang di jalan ini jelas sekali. Pertama, tidak ada istilah tidak bisa. Kedua, kemampuan di dalam diri sini tidak terbatas. Ketiga, lebih tinggi kehidupan yang bisa diraih itu lebih baik. Dan ternyata, bagi mereka yang sudah menua bijaksana akan tersenyum penuh pengertian. Dalam kehidupan, ada yang bisa dicapai, ada yang hanya layak disyukuri. Ada wilayah kehidupan yang bisa digedor dengan kerja dan usaha. Ada wilayah kehidupan yang hanya menjadi milik misteri Ilahi.
Sampai di tingkatan ini melarang anak muda berusaha keras tentu bukan pilihan yang bijaksana. Sebagaimana cemara yang sejuk di gunung, kelapa yang bertumbuh kokoh di pantai, biarkanlah mereka bertumbuh sesuai dengan tingkat kedewasaannya. Namun bagi yang sudah memasuki arbaiina sanah, apalagi yang sudah menua, selain badan sudah berhenti berbau parfum, digantikan oleh bau minyak kayu putih, mungkin ada gunanya mendengar baik-baik derit nyanyian-nyanyian bambu.
Mari kita perhatikan baik-baik serumpun bambu. Ia kuat dan kokoh tanpa pernah bisa dicabut angin. Dan alasan utama kenapa bambu kuat adalah karena berakar kuat ke dalam. Ini berbeda dengan manusia yang hidupnya lemah dan keropos, terutama karena berakar keluar ( dengan pangkat dan kekayaan). Ini memberi inspirasi, belajarlah bertumbuh dengan berakar ke dalam. Ke dalam diri, ke dalam persahabatan dan rasa syukur atas berkah kehidupan.
Kedua, bambu senantiasa segar di segala musim. Ini berbeda dengan kebanyakan manusia yang hanya segar bila punya uang, naik pangkat, dipuji. Dan karena tidak ada kehidupan yang selalu kaya dan bahagia, maka layaklah direnungkan untuk belajar indah di setiap langkah. Kaya indah karena banyak yang bisa dibantu dengan kekayaan. Miskin juga indah, karena melalui kemiskinan manusia tidak perlu takut kehilangan. Naik pangkat indah karena penuh pujian. Pensiun juga indah. Berlimpah waktu yang tersedia untuk berbuat kebajikan.
Nyanyian bambu yang ketiga, setelah tinggi bambu merunduk rendah hati. Siapa saja yang setelah tinggi kemudian tinggi hati, ia sedang manabung untuk keruntuhannya di kemudian hari. Dan puncak cerita bambu adalah ketika di belah di dalamnya kosong. Bila boleh jujur, kenapa banyak kehidupan mudah stres, marah, tersinggung karena didalamnya penuh berisi. Dari harga diri, kekayaan sampai status sosial. Tak ada ruang kosong, sehingga jika ada yang berperilaku berbeda dari yang diharapkan, godaan untuk marah akan mudah muncul. Dan bambu mengajarkan bahwa semua yang hebat-hebat, yang membuat manusia mudah marah suatu hari akan berakhir dengan kekosongan. Yaitu, kekosongan jiwa dan amal kebajikan.
Melalui arba’iina sanah, sebuah rambu diberikan. Sembari melantunkan doa yang indah di atas dan diilhami derit nyanyian bambo yang menggema, semoga bisa menemani perjalanan dalam mengisi dan menghabiskan sisa umur kita. Lebih bermakna, lebih bertenaga. Walau banyak yang belum menghafal doanya.
Penulis: Faizunal ‘Kusmono’ Abdillah